Solo — Tidak semua orang dapat menerima, apabila dikaruniai seorang anak yang bisu atau tuli. Seperti yang dialami oleh keluarga Ki Joko, seorang lurah terpandang di suatu desa kecil. Anak yang dilahirkan istrinya ternyata mengalami hal tersebut (bisu), namun secara fisik tidak kurang satu apapun.
Ki Joko meyakini bahwa anaknya yang bernama Laras mendapat guna-guna dari pesaing-pesaingnya yang tidak menyukai dirinya. Dia berusaha mencari dukun terbaik untuk menyembuhkan Laras. Berbeda dengan sikap sang istri yang telah ikhlas dan tabah menerima hal itu, sang istri menganggap bahwa hal itu merupakan ujian dari Tuhan dan harus disyukuri, sebab masih banyak ujian melibihi dari hal itu.
Seringkali, terjadi perbedaan pendapat antara Ki Joko dan istrinya. Puncaknya, Ki Joko kalap dan hampir menyiksa anak semata wayangnya itu. Namun, anaknya lari dan meninggalkan rumah. Dalam pelariannya itu, Laras mengalami penderitaan, sampai dirinya berada di suatu tempat yang gelap di tepian sawah dekat rawa-rawa dan tertidur di sana. Akhirnya dirinya ditemukan oleh anggota keluarga yang juga senasib dengannya yakni bisu dan tuli.
Selama Laras meninggalkan rumah, Ki Joko berpikir tentang kesalahannya selama ini. Sampai akhirnya Laras ditemukan bersama keluarga bisu dan tuli itu.
Setelah bertemu Laras, ternyata banyak terjadi perubahan terhadap anaknya. Anaknya telah dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan itu menyampaikan semua keluh kesahnya terhadap Ki Joko. Dari sanalah Ki Joko sadar bahwa pandangannya selama ini salah. Bisu dan tuli tidaklah menghalangi apabila keduanya tetap bisa berkomunikasi.
Itulah sedikit cerita pertunjukan teater berjudul Sudo Ora Sudo yang ditampilkan oleh Teater Tuli (Teater of Sign) bekerjasama dengan Gerkatin Solo, Deaf Voluntering Organization (DVO), BKKT UNS dan Kelompok Peron Surakarta di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kentingan, Jebres, Solo, Kamis (4/4) malam.
Dalam pertunjukan tersebut juga banyak diselingi dengan adegan-adegan lucu serta menghibur penonton. Hal itu menyiratkan bahwa meskipun mereka mempunyai keterbatasan dalam mendengar, namun mereka tetap manusia yang dapat bersosialisasi dengan lainnya.
Sutradara pertunjukan, Wardhana Sandhi mengatakan, pertunjukan tersebut sebagai bukti bahwa meskipun mereka bisu dan tuli namun mereka tetap bisa berkarya.
“Bisu dan tuli tidak menjadi hambatan. Namun upaya kita untuk memaksimalkan kemampuan itulah kunci kesuksesannya,” ujar Sandhi saat ditemui usai pertunjukan.
Lebih jauh dijelaskan Sandhi, dalam proses penggarapan dirinya membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Selama proses kreasi tersebut dirinya mengakui banyak penyesuaian yang harus dilakukan saat menggarap lakon tersebut.
“Karena pemerannya bisu dan tuli, kita harus mengadakan penyesuaian seperti suara alunan musik, naskah dan sebagainya,” ungkapnya.
Dirinya berharap melalui pertunjukan tersebut dapat memberikan edukasi, bahwa orang bisu dan tuli bukanlah orang yang aneh dan berakibat mereka menjadi terkucil. Namun dirinya mengajak untuk merangkul dan memperlakukan mereka sama seperti mahkluk ciptaan Tuhan.
“Siapa yang mau seperti mereka. Tidak ada seorangpun yang ingin terlahir seperti mereka. Melalui pementasan ini marilah kita dukung dan semangati mereka agar lebih bersemangat lagi dalam menjalani kehidupan,” ucap Sandhi.