Solo – Masyarakat Kota mengenang pertempuran empat hari yang terjadi tanggal 7-10 Agustus 1949 di Kawasan Pasar Nangka, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Minggu (9/8). Dalam kegiatan yang diikuti sekitar belasan orang ini, mereka membacakan sejarah dan memanjatkan doa kepada para pejuang dan korban pembantaian yang dilakukan penjajah Belanda.
“Lokas ini dulunya, digunakan oleh tentara Pelajar menyerang Belanda. Karena banyak gang kecil dan langsung menyebrang rel untuk menghilang. Belanda mengamuk saat tank diledakkan di sini, itu Pak Jarwo yang menceritakan, saksi hidup masih ada. Setelah itu warga mengungsi, sayang bayi yang dibawa terkena peluru,” terang inisiator kegiatan, Momi Satyotomo kepada wartawan.
Dikatakan, berbagai elemen masyarakat mengikuti kegiatan tragedi pembunuhan masyarakat oleh Tentara Belanda pada Agresi Militer II di Pasar Nangka. Di lokasi itu tragedi pembantaian masyarakat tak berdosa di Kretek Abang (Jembatan Merah) Pasar Nangka Solo pada 9 Agustus 1949. Tentara Belanda yang melakukan agresi militer bersama pasukan bantuan dari luar menyisir Jalan RM Said, tepatnya perempatan Masjid Solokin ke barat.
Disitu, lanjut Momi, tentara Belanda mengumpulkan 36 orang penduduk dan dibunuh di jembatan merah. Diantara mereka merupakan anak berusia 3 bulan dan lima perempuan dengan orang tuanya. Aksi keji ini dilatarbelakangi terbunuhnya tiga anggota militer Belanda Koninglike Landmacth (KL) oleh Tentara Pelajar saat serangan 4 hari di Solo 7-10 Agustus 1949.
Pria yang juga Ketua Paguyuban Kerabat Mangkunegaran Solo itu juga mengatakan, dari kegiatan ini mengajak masyarakat untuk mengenang kembali. Bahwa pertempuran 4 hari di Solo adalah perang terakhir Belanda dengan tentara Indonesia, karena pada 12 Agustus di Lapangan Sriwedari Belanda mengakui kedaulatan dan menyerahkan kepada Letkol Slamet Riyadi.
“Pertempuran 4 hari ini yang terakhir, perpisahan sejak saat ini Belanda tidak perang lagi. Walau 10 November datang lagi di Surabaya dan Gagal, namun tidak pernah terangkat, justru kalah dengan peperangan yang lain. Kami mengajak masyarakat Solo untuk mengenal sejarah perjuanganya,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris PMI Kota Solo, Sumartono Hadinoto mengungkapkan, rentetan dari serangan 4 hari di Solo tak sedikit pejuang kemanusian PMI yang gugur. Tepatnya pada tanggal 11 Agustus Tentara Baret Hijau (Green Cap) dari Semarang mengamuk di Markas PMI Padmonagoro Gading.
“Kemerdekaan Indonesia ini tidak gratis, melainkan dibayar dengan nyawa para pejuang. Generasi saat ini seharusnya mengisi kemerdekaan, dengan mengenang perjuangan menjaga kerukunan dan Bhinneka Tunggal Eka,” kata tokoh Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) itu.
Editor : Wahyu Wibowo