Solo — Program Studi (Prodi) Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar webinar nasional bertajuk “Strategi pengembangan industri produk turunan kakao Indonesia” secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting dan siaran langsung kanal Youtube. Webinar menghadirkan 3 pembicara yaitu Dimas Rahardian Aji Muhammad PhD (dosen Prodi ITP), Sabrina Mustopo (Founder dan CEO Krakakoa) dan Dianawati MS (Kementerian Perdagangan).
Dimas Rahardian membawakan materi mengenai tren global teknologi pengolahan kakao dan cokelat. “Apabila kita bertarung terus-terusan pada level biji maka kita akan tergilas oleh negara lain, apalagi negara-negara maju benar-benar punya teknologi untuk mengolah kakao. Agar dapat bersaing dengan negara lain, kita bisa mengolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah dan laku di pasar. Untuk mengetahui nilai pasar, kita harus tahu tren pasar dan kemauan konsumen,” terangnya, Senin (24/8).
Biji kakao mengandung polyphenols yang berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, mengurangi risiko penyakit jantung, dan membantu menjaga aliran darah. Dalam proses pengolahan, kadar polifenol mengalami penurunan yang signifikan sehingga produk akhirnya menjadi kurang sehat.
“Untuk membuat cokelat yang sehat ada beberapa cara, yang pertama yaitu memodifikasi proses. Kemudian bisa ditambahkan polifenol dari sumber lain pada produk akhir cokelat tersebut. Salah satu sumber yang dapat ditambahkan yakni ekstrak kayu manis, tetapi ketika menambahkan sesuatu dari luar juga ada limitasinya. Bahan yang kita tambahkan biasanya mengandung senyawa-senyawa yang cukup mengganggu apabila dicampurkan ke dalam cokelat,” ujar Dimas.
Tren ketiga yaitu membuat minuman yang easy to consume, dalam penelitian yang dilakukan oleh Dimas, Ia menambahkan ekstrak kayu manis namun saat dimakan sebagian polifenol masih terjebak pada matriks cokelat. Oleh karena itu menambahkan ke dalam minuman cokelat merupakan salah satu cara yang lebih efektif karena lebih mudah rilis di organ tubuh.
Pada materi kedua, Sabrina Mustopo menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan kakao.
“Kebanyakan cokelat yang enak berasal dari luar negeri, padahal di negara tersebut tidak ada kebun atau tanaman cokelat. Kita bisa memproduksi serta menanam sendiri, itu yang menjadi peluang serta tantangan tersendiri,” terangnya.
Kemudian pembicara terakhir, yaitu Dianawati memaparkan mengenai urgensi dan strategi sertifikasi untuk pengembangan pasar produk turunan kakao.
“Sertifikasi yakni penerbitan sertifikat terhadap barang, jasa, proses, sistem, atau personel yang bertujuan memberikan jaminan tertulis dari LPK bahwa produk tersebut telah memenuhi standar yang ditentukan,” paparnya.
Pada sertifikasi industri turunan kakao, Dianawati membagi menjadi 3 yaitu bahan baku, industri kakao, dan produknya. Pada bahan baku biji kakao terdapat sertifikasi organik dan sustainability untuk menjamin bahwa bahan tersebut bebas dari pestisida maupun hormon sintetis.
“Lalu pada industrinya terdapat beberapa sertifikasi antara lain sertifikasi keamanan pangan dan sistem manajemen. Kemudian pada produk cokelatnya terdapat sertifikasi halal dan Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT SNI) kakao bubuk. Semuanya diterbitkan oleh Lembaga sertifikasi,” terangnya kembali.
Pelaku usaha wajib memiliki sertifikat SNI kakao bubuk. Apabila tidak memiliki sertifikat atau sertifikat telah habis masa berlakunya, maka dapat dibekukan sementara atau dicabut dan dilarang mengedarkan barang.
“Pelaku usaha dapat mengajukan permohonan sertifikasi produk ke Lembaga Sertifikasi produk (LSPro) terakreditasi untuk memperoleh SPPT. Kemudian laboratorium LSPro akan melakukan pengujian terhadap kakao bubuk sesuai dengan SNI 3747. Untuk produk kakao bubuk, terdapat 2 skema fermentasi yakni skema tipe 5 dan tipe 1b,” pungkasnya.
Editor : Marhaendra Wijanarko