Semarang – Aktivitas belajar dari rumah yang sudah lebih dari satu semester terpaksa dilakukan akibat pandemi Covid-19, belum diketahui kapan akan berakhir. Guru, dan terutama orangtua, dituntut untuk memiliki cara pandang baru dalam mendampingi anak didik dalam belajar jarak jauh.
Demikian beberapa kesimpulan penting yang mencuat dalam webinar bertajuk “Tarik Ulur Pembelajaran Jarak Jauh” yang menghadirkan beberapa pakar pendidikan, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Selasa (25/8).
Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Padmaningrum memaparkan, sedianya akan dilakukan uji coba pembelajaran tatap muka di tiga kabupaten berstatus hijau, yakni Kabupaten Wonosobo, Temanggung, dan Kota Tegal. Masing-masing kabupaten akan diwakili oleh satu SMA dan satu SMK.
Namun rencana itu terganjal karena tiba-tiba ada kasus positif Covid-19 di Brebes dan Tegal ketika belajar secara tatap muka diterapkan di PAUD, SD, dan SMP tanpa izin Gubernur.
“Itulah bukti, membuka sekolah tidak bisa sembarangan, karena menyangkut keselamatan peserta didik, orangtua/keluarga serta guru yang terlibat dalam proses tersebut,” tutur Padmaningrum.
Pelaksanaan belajar jarak jauh pun, terkendala sejumlah masalah. Padmaningrum mengakui tidak semua guru siap menghadapi perubahan mendadak. Banyak guru yang belum sepenuhnya melek media, terutama justru guru senior berstatus PNS malah banyak kalah oleh para guru tidak tetap yang masih muda.
Di sisi lain, dengan banyaknya keluhan terkait daya kreativitas guru yang terbatas saat Pembelajaran Jarak Jauh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.
“Salah satunya adalah dengan melakukan peningkatan kapasitas terhadap 4.000 lebih guru SMA dan SMK di Jateng terkait pembelajaran jarak jauh menggunakan metode Dokmen (Diklat Online dan Mentoring) yang disupport oleh Microsoft,” kata Padma.
Diakui juga, pembelajaran jarak jauh membuat target capaian kurikulum juga harus disederhanakan. Yang penting bagaimana peserta didik merasa nyaman dan bisa belajar dengan optimal dengan dukungan lingkungan dekatnya.
Hal senada diungkapkan Supriono Subakir, Konsultan Pendidikan Inklusif dan Penanganan Anak Tidak Sekolah UNICEF Jawa Bali; mengakui bahwa anak-anak dalam sehari mampu belajar 3 – 4 jam sudah luar biasa.
“Oleh sebab itu bagaimana menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, itu yang diperlukan. Orangtua di rumah sekarang baru sadar bagaimana sulitnya mengajar satu anak di rumah. Mereka baru sadar betapa beratnya tugas guru yang mengajar lebih dari 30 anak dalam satu kelas,” kata Supriono.
Pembicara yang lain, Warsito Ellwein dari Lembaga Gerak Permberdayaan berpendapat pandemi memaksa anak-anak harus tinggal di rumah, termasuk orangtua sehingga menciptakan situasi yang baru.
“Selama ini orangtua mengandalkan pendidikan anak di sekolah. Pendidikan lainnya sambil jalan. Kini pendidikan harus berpikir seperti Ki Hajar Dewantara. Pendidikan bukan hanya di sekolah, tetapi juga di masyarakat dan di keluarga,” katanya.
Editor : Ari Kristyono