KI SENO Nugroho belakangan sering bersuara keras, meledak-ledak bahkan sesekali makian terlontar dari “mulut” Bagong, figur wayang yang suka atau tidak sudah identik dengan dirinya. Suara tak puas itu, senyatanya mewakili jeritan para seniman ketika mereka tak bisa pentas akibat pandemi Covid-19.
Namun, Seno bukanlah seniman yang hanya bisa sesambat lalu menyerah pada nasib atau hanya menuntut pemerintah. Dia lalu membuat pentas Wayang Climen, sehingga rombongan seniman karawitan Warga Laras, belasan pesinden dan awak panggung yang bergantung kepadanya, bisa tetap mendulang nafkah meski tak sebesar di masa normal.
Wayang Climen adalah pentas singkat 2-3 jam yang tentu saja bisa lebih murah, karena pentas tetap di rumah Ki Seno di Desa Gayam, Sedayu, Bantul. Tak melanggar protokol kesehatan karena sudah sejak lama penonton pentas wayang tidak perlu hadir langsung, lebih banyak yang menonton via jaringan internet.
“Itulah Seno Nugroho, daya cipta kreativitasnya melampaui semua batasan. Bahkan mendobrak sekat yang paling tebal di dunia pedalangan wayang purwa, yakni gagrak Surakarta dan Nyayogyakarta,” ujar dosen UNS yang juga pengamat budaya pedalangan, Deniawan Tommy, Rabu (4/11) dini hari.
Di mata Deny, tak perlu heran setiap hari belasan ribu orang termasuk kalangan milenial selalu menikmati pentas Ki Seno melalui sejumlah kanal Youtube. Karena di tangan Seno Nugroho, wayang bukanlah pertunjukan usang, selalu ada pembaruan yang segar.
Betapa tidak. Seno biasa melantunkan suluk gaya Jogja, wayang gaya Solo, keprak bisa bergantian gaya Solo dan Jogja. Sanggit lakon jangan ditanya, sering digarap sangat berbeda, namun selalu tajam menyentuh banyak persoalan kekinian yang dikenal masyarakat.
“Namun semua masih dalam batas, tidak kebablasan. Contohnya bagaimana dia menempatkan posisi pesinden sebagai ujung tombak hiburan dalam pentasnya. Namun, tetap menggunakan wewaton. Tetap menggunakan gendhing dan lelagon tradisional, hanya dengan garap baru sehingga anak muda pun mau mendengarkan gamelan,” tuturnya.
Deni pun meyakini kreativitas Seno Nugroho yang sering dianggap merusak pakem itu sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, hampir semua dalang kaliber maestro seperti menjadi gurunya. Sabet gaya Ki Manteb Soedharsono, janturan ala Ki Anom Suroto, sanggit Ki Narto Sabdo dan lain-lain, sering dia gunakan.
“Namun, dalang yang menonjolkan figur Bagong, itu baru Ki Seno. Biasanya dalang itu identik dengan Petruk. Tapi ini beda, bahkan Bagong ini sering menjadi alat untuk mengkritik semua yang dianggap kurang pas. Ki Seno di atas panggung tidak pernah mengkritik sebagai pribadi. Bukan masalah-masalah personal. Bagong digunakan menjadi wakil publik, setidaknya mewakili kelompok besar misalnya kaum seniman, atau bisa mewakili apa saja,” ulas Deni.
Selain kreativitas karya, ada karakter lain dari Seno Nugroho yang menurut Deni cukup menonjol, yakni kepedulian dan tanggung jawab.
“Wayang Climen, misalnya, itu solusi yang lahir dari kreativitas dan tanggung jawab. Meski pandemi, tetap rombongan Ki Seno bisa mendapat nafkah. Saya pernah bertemu beliau dan bertanya, mengapa sering mengajak pentas dagelan, sedangkan kemampuan dia menciptakan suasana lucu itu sudah lebih dari cukup. Ternyata, itu cara Ki Seno untuk berbagi, agar sesama seniman juga kecipratan rezeki,” pungkas Deni.
Selasa (3/11) sore, Ki Seno memang tidak ada jadwal pentas, sehingga dia menyempatkan diri berolah raga mengayuh sepedanya. Namun, pukul 19.00 dia merasa kurang sehat sehingga dilarikan ke RS PKU Gamping, Sleman, hingga meninggal dunia sekitar pukul 22.30. Diduga dia terkena serangan jantung, penyakit yang pernah membuatnya dirawat di rumah sakit dua bulan lalu.
Meninggalnya Ki Seno, meninggalkan sejumlah jadwal yang menurut akun Instagram Admin Ki Seno Nugroho, sudah penuh hingga akhir November hampir tanpa jeda.
Sugeng sowan marak Gusti, Ki Seno Nugroho.
Editor : Ari Kristyono