Timlo.net – Kegempaan dan deformasi Gunung Merapi masih tinggi. Bahkan pergerakan magma semakin menuju permukaan gunung. Meski demikian Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta belum akan menaikkan status Merapi.
”Kami masih terus memantau serta mengkaji data-data dari perkembangan Merapi,” ungkap Kepala BPPTKG Yogyakarta, Hanik Humaida, Jumat (20/11), sebagaimana diberitakan di laman beritamagelang.id.
“Namun sampai data saat ini saya sampaikan bahwa kondisi tersebut tidak seperti tahun 2010. Kalau kita prediksikan seperti tahun 2006, kira-kira eksplosifnya seperti itu, ada kubah lava dan juga awan panas,” lanjutnya.
Sementara potensi daerah bahaya, Hanik menyebutkan, ada di sisi tenggara karena telah terjadi bukaan kawah di sisi tersebut. Namun demikian, guguran beberapa kali terjadi di sisi barat laut sehingga kemungkinan potensi bahaya juga ada di sisi barat dan barat laut.
Ia menjelaskan, guguran yang terjadi ini bisa saja membahayakan, namun guguran tersebut bukanlah lava pijar. Guguran tersebut merupakan material sisa-sisa lava yang sudah lama.
“Di atas itu (puncak Merapi) ada sisa lava erupsi tahun 1998, kemudian juga sisa lava erupsi tahun 1948. Di posisi lava itu yang sering terjadi guguran pada saat ini,” jelas, Hanik.
Hingga saat ini BPPTKG masih merekomendasikan jarak 5 km dari puncak Merapi tidak boleh ada aktivitas warga karena dikawatirkan bisa terkena lontaran material apabila terjadi erupsi.
“Tidak KRB III keseluruhan juga ya, artinya sebagian dari KRB III dengan jarak 5 km dari puncak Merapi,” katanya.
Sebelumnya pada 16 November 2020, BPPTKG telah mengirimkan tim untuk mengambil morfologi guna melihat kondisi puncak Gunung Merapi. Hingga saat ini pihaknya masih menunggu hasil untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam.
Sumber: beritamagelang
Editor : Wahyu Wibowo