Jakarta — Rumitnya proses dan prosedur memperoleh kucuran dana penyelenggaraan kegiatan budaya menjadi masalah tersendiri bagi penggiat budaya. Apalagi bila diminta mempertanggungjawabkan capaian yang akan diperoleh dari kegiatan seni budaya, jelas sulit.
“Persoalan itu sejak dulu pelik, dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Bila di negara lain, seperti Australia, memiliki dana yang disebut Australia Endorsements for the Art. Salah satunya untuk membiayai kegiatan seni dan pagelaran budaya, tanpa ribet menanyakan output segala macam. Kita tidak memiliki lembaga semacam itu. Ada contoh lain, seperti Oregon Cultural Trust for Art,” ungkap mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam orasi pada Kongres Kebudyaan, Sabtu (8/12) di Jakarta.
Padahal, kata dia, apabila dikelola menjadi industri pariwisata, tidak menutup kemungkinan devisa dari luar yang masuk dari sektor wisata cukup besar.
“Tinggal bagaimana para seniman dan budayawan mengolah menjadi kemasan menarik. Sebagai contoh misalnya, acara tari ‘Perang’ di Lembah Baliem, Papua. Bila dikemas sebagai wisata unggulan, jelas menjadi pariwisata sangat menarik. Karena tidak ada duanya. Dan itu mendatangkan devisa dari pelancong yang datang,” kata Chatib Basri.
Menurut dia, untuk mengelola agar menarik dan dikenal khalayak luas di mancanegara, maka diperlukan dana anggaran yang memadai. Namun hal itu, ternyata sulit memperoleh dukungan dana.
“Untuk memperoleh anggaran mengembangkan seni dan budaya, bukan main sulitnya. Belum lagi, ditanyain apa output-nya. Menurut saya itu double for nothing. Jadi diperlukan terobosan baru dengan membentuk lembaga yang concernt terhadap bidang seni dan budaya,” katanya
Menurut Chatib Basri, pemerintah perlu merancang lembaga yang mampu mengelola Dana Perwalian khusus bagi kegiatan pengembangan seni dan budaya nusantara. Selain acuannya, seperti diamanatkan UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 tahun 2017, juga sudah sepantasnya industri wisata budaya perlu digalakkan.