Wonogiri — Pemkab Wonogiri menyatakan, saat ini masih ada pihak-pihak yang melontarkan kritik tentang pelarangan hajatan di media sosial, terutama dari kalangan pekerja seni di Wonogiri. Pihaknya mengaku siap untuk bertemu dan beradu data tentang efek diberlakukannya hajatan.
“Dimasa pandemi ini memang terjadi kontraksi dan itu benar adanya. Tapi tidak bisa dikatakan suatu kebijakan tidak berpihak kepada satu profesi. Kondisi saat ini harus disikapi bersama agar persebaran Covid-19 ini bisa menurun,” ungkap Bupati Wonogiri Joko Sutopo, Rabu (20/1).
Menurut dia, kalangan seni yang memprotes kebijakan pemerintah hanya sebagian kecil saja. Adanya pelarangan hajatan lantaran akan berimbas pada mobilitas kaum boro di perantauan. Karena hal ini tak lepas dari kultur budaya masyarakat Wonogiri. Dari data yang ada, klaster perjalanan dari kota-kota besar banyak menyumbang penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Wonogiri.
Bupati Joko Sutopo tak menyoal adanya perbedaan pendapat tentang pelarangan hajatan. Namun secara subtansi pendapat itu harus bisa dipertanggungjawabkan. Pemkab mempunyai data dan informasi yang akurasinya obyektif. Jika tidak setuju, dipersilakan membaca data yang menunjukkan bahwa klaster perjalanan sumber terbanyak penularan Covid-19.
“Saya menghormati perbedaan pendapat. Tapi, tolong baca statistik epidemiologi Covid-19, kemudian silakan berpendapat. Agak dewasa sedikitlah dalam berpendapat itu,” jelasnya.
Para pengritik, kata Joko Sutopo, selalu melempar fakta di daerah lain dan bahkan membanding-bandingkan daerah lain. Dimana, di daerah lain ada yang membolehkan masyarakatnya menggelar hajatan dengan adanya hiburan.
“Suruh menunjukkan pihak yang menolak pelarangan hajatan, berapa kabupaten yang memperbokehkan hajatan. Hitung saja berapa? Mayoritas melarang hajatan. Tapi kalau hanya sebatas ijab qobul diikuti keluarga dan tetangga terdekat, maksimal 30 orang boleh,” paparnya.
Imbas pandemi, imbuh Bupati Wonogiri, menyentuh segala aspek sendi kehidupan masyarakat dan juga perekonomian. Maka pihaknya meminta untuk menyalurkan kritik dan aspirasinya diruang yang tepat, bukan di media sosial. Tak urung, celotehan di media sosial dapat menimbulkan kegaduhan dan spekulasi di masyarakat.
“Dulu, para pekerja seni pernah kita fasilitasi untuk diskusi. Saat itu sebagian besar setuju jika untuk sementara waktu hajatan dilarang. Jika berkenan, pihaknya pun siap memfasilitasi pertemuan untuk membahas pelarangan hajatan.Beberapa waktu lalu Pemkab sudah pernah mengundang, tapi tidak hadir,” tandasnya.
Editor : Marhaendra Wijanarko