Solo — Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof Warto mengemukakan, masyarakat Kota Bengawan acapkali bingung membedakan nama atau sebutan Solo, Sala dan Surakarta.
“Kerancuan ini tidak hanya dialami oleh masyarakat kota ini (Solo), tapi juga dialami oleh masyarakat di berbagai daerah,” ungkap Prof Warto kepada wartawan, di Kampus UNS, Solo, Rabu (17/2).
Menurutnya, selama ini masyarakat ada yang menyebut Kota Bengawan dengan nama Solo atau Surakarta. Selain itu, dalam hal penulisan dan pelafalannya pun, masyarakat ada yang suka menggunakan nama “Solo” dan ada juga yang “Sala”.
Prof Warto pertama-tama menerangkan sejarah dibalik nama Solo dan Sala. Ia mengatakan, pada awalnya nama yang benar adalah Sala. Alasannya, karena kota yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo ini dulunya merupakan sebuah desa “perdikan” yang bernama Desa Sala. Dahulu, desa ini dipimpin oleh seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau biasa disebut juga Kiai Sala.
“Itu nama yang punya sejarah panjang. Jadi, Kota Solo yang sekarang kita kenal itu kan awalnya dari sebuah perpindahan kerajaan dari Kartosuro ke Surakarta (red: Desa Sala) tahun 1745,” terang Prof Warto.
Lalu, seiring kedatangan orang-orang Belanda, penyebutan nama Sala yang semula menggunakan huruf “a” berubah menjadi “o” sehingga pelafalannya berubah menjadi Solo.
“Dengan huruf “a”. Ingat huruf Jawa “o” dan “a” punya perbedaan yang sangat penting. Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau di- taling-tarung jadi “o” makanya So–lo gitu. Dan, alasannya Sala jadi Solo karena orang Belanda susah ngomong Sala,” jelasnya.
Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah UNS ini menjelaskan, Desa Sala yang awalnya merupakan desa perdikan berubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pemilihan Desa Sala sebagai lokasi baru keraton didasarkan pada pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan JAB van Hohendorff usai Keraton Kartasura hancur akibat Geger Pecinan.
Dalam sejarahnya, Geger Pecinan terjadi akibat pemberontakan pada tahun 1740 yang berhasil menghancurkan Keraton Kartasura. Walaupun Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, namun Pakubuwana II yang kala itu masih berkuasa menganggap lokasi keraton sudah kehilangan “kesuciannya” dan berinisiatif memindahkannya ke lokasi yang baru. Dan, terpilihlah Desa Sala sebagai lokasi baru keraton.
“Sala itu sebuah desa yang ditempati untuk Keraton Surakarta Hadiningrat dengan penguasanya Pakubuwana. Apa bedanya Sala dengan Surakarta? Kalau Surakarta adalah nama kerajaan sama dengan Keraton Kartosuro setelah pindah ke Desa Sala,” tambahnya.
Seiring perjalanan waktu, Surakarta yang merupakan nama dari sebuah keraton ditetapkan menjadi nama resmi kota administratif. Sehingga untuk nama resmi, penulisan yang benar adalah Kota Surakarta. Sedangkan, nama Solo atau Sala adalah penyebutan populer atau yang umum di masyarakat.
“Perbedaan istilah tidak mengubah substansi, ya tetap sama,” tandas Prof Warto.
Editor : Marhaendra Wijanarko