Solo – Tiga pensiunan guru dari Yayasan Perguruan Al-Islam mendesak supaya penanggung jawab yayasan menjalankan kewajiban hukum pembayaran pesangon. Pasalnya, tali asih yang telah diberikan kepada mereka dinilai bukan bentuk penghargaan layak setelah puluhan tahun mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar.
“Kami berterima kasih atas tali asih yang telah diberikan. Terlepas dari jumlah yang telah diberikan. Namun, pemberian uang tali asih, tidak dapat diartikan sebagai pembayaran pesangon. Yayasan seharusnya menghitung sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan (UUK) no 13 tahun 2003,” terang salah seorang pensiunan, Sukarno kepada wartawan, Sabtu (15/12) siang.
Tak hanya itu, kata Sukarno, selain pesangon masih ada hak milik mereka yang perlu dibayarkan yakni iuran BPJS/Jamsostek dan JHT terhitung mulai TMT mengajar.
“Jadi selain pesangon, juga BPJS/ Jamsostek dan JHT sejak pertama kali mengajar. Sedangkan besaran tali asih hanya tiga kali gaji. Ada yang menerima Rp 6 juta sampai Rp 9 juta. Padahal setelah pensiun, kami bisa bekerja apa? Mau glidik (bekerja-red) juga tidak mampu karena usia. Sedangkan masih harus memberi nafkah keluarga,” katanya.
Dua rekannya yang belum mendapat haknya tersebut, kata Sukarno, yakni Muhtarom dan Muhson Burhani. Padahal, mereka telah puluhan tahun mengabdikan diri di Yayasan Perguruan Al-Islam sebagai pengajar atau guru.
Disinggung besaran pesangon ditambah dengan BPJS dan JHT, Sukarno mengaku ada senilai Rp 68 juta untuk masing-masing pensiunan tersebut. Namun, mereka hanya mendapat tali asih kurang dari Rp10 juta.
Terkait masalah itu, pihaknya telah membicarakan dengan pengurus Yayasan. Namun, perlakuan kurang menyenangkan justru diterima para pansiunan. Mereka kemudian mengadukannya ke Pemerintah Kota (Pemkot) Solo melalui Dinas Ketenagakerjaan. Beberapa kali digelar mediasi dua pihak dengan penengah pemerintah, namun hasilnya kurang memuaskan.
“Yayasan tetap tidak mau mengikuti aturan UU tentang pemberian pesangon bagi guru yang purna tugas dan tetap mengikuti aturan sendiri yang hanya memberikan tali asih dengan jumlah tiga kali gaji. Karena hal ini sudah kita musyawarahkan, baik secara bipartid maupun tripartid empat kali di kantor Disnaker, tetapi tidak ada hasilnya, meskipun kami sudah menurunkan besaran pesangonnya,” ungkap Sukarno.
Sementara itu, Muhtarom mengaku, mereka akan mengambil langkah hukum untuk memperjuangkan haknya. Termasuk usulan Disnaker agar membawa perkara ke pengadilan hubungan industrial di Semarang.
“Kami bertiga, mengingatkan ini, karena kami tidak ingin Yayasan Perguruan Al Islam dikenal sebagai yayasan yang mendzolimi guru-guru dan para pegawainya. Kami juga tahu jika yayasan mungkin akan mengatakan tidak punya uang. Namun kami ingin menegaskan bahwa ini adalah kewajiban hukum yang harus dipenuhi. Jumlah pesangon di atas juga tidak bisa ditawar karena ini bukan persoalan perselisihan, melainkan kewajiban yang sudah tertera jelas dalam UUK No13 tahun 2003 dan sudah ditegaskan ulang oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Solo,” kata Muhtarom.
Dari pertemuan sebelumnya, Muhtarom mengaku, jika Yayasan tidak memiliki niat baik untuk kesediaan membayar kewajiban hukumnya dan mencoba mengalihkan persoalan dengan memberikan uang taliasih.
“Kami sekali lagi menegaskan bahwa uang taliasih tidak ada dasar hukumnya dan tidak dapat menggugurkan kewajiban Yayasan terhadap pemenuhan hak-hak kami,” tegas Muhtarom.
Terpisah, Sekretaris Yayasan Al-Islam, Ali Gufron saat dikonfirmasi Timlo.net mengaku, tidak perlu meributkan masalah tersebut.
“Itu tidak masalah, sudah ya. Saya gak mau berkomentar lagi,” kata Ali.
Editor : Dhefi Nugroho