Jakarta – Sebuah surat telegram dari Divisi Humas Polri memicu polemik. Surat bernomor 750 itu berisi pembatasan dan larangan-larangan terhadap media, dalam meliput kasus hukum di lingkup kepolisian. Diterbitkan Senin (5/4). Namun, sehari kemudian muncul Telegram bernomor 759 yang membatalkannya.
“Polri tidak ada maksud membatasi kebebasan pers. Telegram itu bersifat internal untuk jajaran pelaksana humas Polri di wilayah. Tapi karena menimbulkan polemik, maka telegram itu dibatalkan dan dianggap tidak ada,” papar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Rusdi Hartono, dalam jumpa pers, Selasa (6/4/2021) di Jakarta.
Telegram itu, di butir pertama langsung melarang media menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Diimbau untuk menayangkan kegiatan polisi yang tegas namun humanistik.
Selanjutnya masih beberapa butir larangan lain seperti menyiarkan proses penyidikan, rekonstruksi, menyebut identitas korban/pelaku kejahatan seksual, menyebut identitas pelaku bunuh diri, dan lain-lain.
“Sekali lagi, telegram itu bersifat internal. Tetapi karena menimbulkan multitafsir, maka dicabut,” ujar Rusdi yang disiarkan akun Youtube Humas Polri.
Terpisah, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui ada kesalahan redaksional dalam Telegram 750.
“Niat awalnya dari arahan saya, agar kinerja kepolisian makin tegas namun humanis, profesional, menjauhkan diri dari tindakan arogansi,” ujarnya.