Wonogiri — Lelaki kelahiran Dusun Cungkrung Desa Mojoreno Kecamatan Sidoharjo, Jarno (45) nyaris dibuang oleh pemilik perkebunan kelapa sawit di Kwantan, Malaysia karena mengalami cacat mata akibat kecelakaan kerja. Bahkan hidupanya terlunta-lunta. Untuk makan sehari-hari dia mengandalkan uluran tangan dari kawan sesama tenaga migran.
“Di sana pekerjaan saya meracun rumput, menjaga perkebunan membersihkan kawasan biar enak, biar sawit cepat berbuah,” ungkap Jarno saat ditemui wartawan di rumah sepupunya di Dusun Cungkrung RT 1/RW 2 Desa Mojoreno Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri, Selasa (13/4).
Setiap bekerja, Jarno mengaku selalu menggunakan alat pelindung diri lengkap. Seperti masker dan kaca mata. Namun sialnya, saat kejadian dirinya lupa memakai kaca mata.
“Meracun rumput itu menggunakan alat semprot. Nah, saat itu saya nyemprot rumput bersama kawan-kawan. Kebetulan, waktu itu anginnya kencang. Kawannya saya sempat teriak, memperingatkan, tapi tiba-tiba dari arah depan datang angin bercampur racun mengenai mata saya,” bebernya.
Jarno menuturkan, usai terkena racun rumput itu ke dua matanya mengalami sakit dan pandangan kabur. Sehingga ia tak dapat berkerja. Semenjak mengalami masalah dengan kedua matanya, pemilik perkebunan tak lagi memperkerjakan dirinya. Sekitar dua tahun, ia pasrah dengan kondisi yang dialaminya. Selama itu pula dirinya tidak menerima bayaran. Sehingga, untuk hidup sehari-hari, dia tergantung dengan rekan-rekan sesama pekerja sawit.
“Waktu itu awalnya digaji Rp 3 Juta. Sebenarnya itu bukan perusahaan, tapi perkebunan itu milik perorangan, lahannya sekitar 100 hektar,” paparnya.
Nyaris saja Jarno dibuang oleh bos tempat dia bekerja. Beruntung, ada salah satu teman kerja yang mau menampungnya.
“Kalau ngga ada yang ngambil mau dibuang di jalan atau dibawa ke kantor polisi. Kalau dilaporkan ke polisi, dengan kondisi mata begini, dipenjara dipukul rotan, mati aku,” kenang Jarno.
Semenjak saat itu dia menumpang di rumah kawannya. Di tempat itu, dia hidup tergantung dari kawan-kawan dan tetangganya.
Dia berangkat ke Malaysia melalui Medan. Dia pergi dari Dusun Cungkrung Desa Mojoreno sejak usia 20 tahun atau sekitar tahun 2000-an. Saat di Medan, ia hidup di rumah pamannya. Kemudian ia menikah dan memiliki empat orang anak. Sekitar tahun 2015, Jarno nekat mengadu nasib ke Negeri Jiran Malaysia. Alasannya, karena keluarganya banyak hutang.
Selama bekerja di sana, kata Jarno, hutang-hutang keluarganya dapat dilunasi. Namun sayang, Jarno diceraikan oleh istrinya. Meski perceraian itu belum resmi. Jarno pernah berkeinginan untuk pulang kampung ke Wonogiri.
“Tidak melalui pengerah tenaga kerja resmi. Saya ke Malaysia menggunakan visa pelancong. Tapi, karena jarak dengan lokasi saya berkerja itu jauh, bisa sehari, ya terpaksa ndak bisa memperbarui visa,” jelasnya.
Derita yang dialaminya, membuat hidupnya tak menentu. Bahkan dirinya mengaku sempat putus asa. Bahkan, dompet dan semua kartu identitasnya hilang. Untung saja, saat itu ditolong oleh kawan-kawannya. Mereka mencari cara bagaimana agar Jarno dapat pulang ke tanah air. Salah satunya adalah memposting kondisinya melalui media sosial.
Tak lama kabar itu diposting, ada salah satu relawan di sana yang menyambanginya. Kebetulan, Jarno masih menyimpan identitas diri (KTP) Wonogiri. KTP tersebut merupakan bukti bahwa ia saat masih tinggal di kampung halamannya.
“Alhamdulilah, saya sangat berterimakasih sekali atas kepedulian dan upaya Pemkab Wonogiri sehingga saya bisa pulang kampung,” terangnya.
Saat ditanya apakah ketika sudah sembuh penghilatannya dia akan kembali ke Malaysia? Jarno mengaku sudah kapok dan tak ingin kembali mencari nafkah di negeri tetangga.
“Kalau mata saya sudah sembuh tidak kepengin lagi ke Malaysia, mau dibayar berapapun. Sekarang saya kepengin fokus ke penyembuhan mata dulu,” tandasnya.
Editor : Wahyu Wibowo