Solo — Narapidana kasus korupsi Djoko Tjandra mendapat remisi alias pengurangan masa hukuman. Keputusan pemberian remisi bagi terpidana korupsi dalam kasus pengalihan hak tagih piutang atau cessie Bank Bali ini mendapat sorotan dan kritik dari berbagai pihak. Salah satunya pengamat dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto.
“Ini (Pemberian remisi bagi Djoko Tjandra-red) merupakan keputusan yang aneh. Apakah ada unsur politik disitu,” terang Agus saat dihubungi, Minggu (22/8).
Dikatakan, memang pemberian remisi itu merupakan hak bagi narapidana apapun bentuknya dengan berbagai syarat yang ada. Tapi masalahnya para penegak hukum menerapkan peraturan perundang-undangan secara legalistik. Di mana istilah kelakuan baik itu dipahami, bahwa yang bersangkutan tidak berbuat apapun di dalam penjara.
“Namun para penegak hukum tidak bicara bagaimana aspek kepantasan atau kepatutan,” kata Dosen Fakultas Hukum UNS itu.
Mungkin kelakuan Djoko Tjandra dalam penjara baik, tapi kalau secara moral itu tidak pas. Sehingga, dirinya juga mempertanyakan kepatutan seorang Djoko Tjandra mendapatkan remisi.
“Harusnya syarat memperoleh remisi itu bisa diatur lebih spesifik lagi. Sehingga tidak menimbulkan diskriminasi atau ada kesan bahwa korupsi itu bukan kejahatan luar biasa tapi kejahatan biasa,” jelasnya.
Dia menilai, jika korupsi itu termasuk kejahatan yang luar biasa dan harus dilakukan berbeda dengan kejahatan lain. Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu untuk menunjukkan jika korupsi itu kejahatan luar biasa, karena KPK itu merupakan lembaga khusus.
“Tapi kenyataannya korupsi dianggap setara dengan kejahatan yang lain. Padahal dalam perundang-undangan korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, tapi pada saat eksekusi dalam proses pemidanaan dianggap biasa,” kata Agus.
Seperti diketahui, terpidana Djoko Tjandra sempat buron, bahkan pernah memalsukan data. Itu mestinya dilakukan berbeda, apalagi sudah merugikan negara dan itu banyak yang dipertanyakan publik.
“Ini catatan bagi pemerintah dalam memberikan remisi bagi terpidana. Harusnya pemerintah jeli dan melihat aspek sosiologi masyarakat harus dibaca,” imbuhnya.
Mungkin, kata Agus, banyak masyarakat yang menilai dan curiga “hebatnya” Djoko Tjandra. Dia bisa mengelola dan mengelola semua dari konflik penegak hukum.
“Tidak semua narapidana itu memiliki apa yang dimiliki Djoko Tjandra. Mungkin kalau kasus-kasus biasa masuk akal, ini kasusnya korupsi,” tandasnya.
Kalau bisa ada revisi tentang remisi bagi narapidana. Ini supaya kasus korupsi ditangani dengan cara khusus dan selama ini belum ada yang dijalani secara serius. Sejauh ini masih ditangani seperti kasus-kasus biasa, padahal itu sangat berbeda sekali.
“Harusnya terpidana kasus korupsi jangan diberi remisi. Ini kejahatan luar biasa, karena dampaknya luar biasa juga dan tidak manusiawi. Harus ada revisi tentang remisi,” tegasnya.
Sebenarnya selama ini sudah ada pemidanaannya. Kalau dalam undang-undang, ada pidana pokok dan tambahan. Pidana pokok itu maksimal 20 tahun hingga hukuman mati. Kalau pidana tambahan itu mengembalikan kerugian negara.
“Itu sudah ada semua sebenarnya dan sudah tepat. Tapi pelaksanaannya belum pas,” katanya.
Editor : Wahyu Wibowo