Solo – “Novel bertajuk Garis Perempuan : Empat Wanita, Empat Jalan Hidup (2010) karya Sanie. B. Kuncoro boleh dikatakan menutup era sarkasme seksual yang pernah hidup sebagai mimpi buruk sejarah sastra Indonesia yang mutakhir.”
Itulah ungkapan yang dilontarkan oleh Saifur Rohman, saat dirinya menjadi pembicara dalam acara Bedah Novel Garis Perempuan karya Sanie. B. Kuncoro, di Balai Soedjatmoko, Minggu (21/02). Bedah novel yang diadakan oleh Bentang Budaya Surakarta dihadiri oleh 30an orang yang terdiri dari sastrawan, penulis, mahasiswa, aktivis perempuan dan masyarakat awam.
Sanie, sang penulis novel, selama lebih dari 20 tahun telah menghasilkan berberapa karya cerita populer seperti novel berjudul Mayan dan Mimpi Bayangan Jingga. Selain itu, wanita yang sudah mulai menulis sejak 1980-an itu telah enam kali menjuarai sayembara menulis di Majalah Femina. Novel Garis Perempuan sendiri menceritakan tentang pergulatan empat perempuan dalam menafsirkan makna keperawanan. Empat perempuan yang mempunyai nasib berbeda itu adalah Ranting, Gendhing, Tawangsri, dan Zhang Mey.
Sedangkan saat sesi tanya jawab, seorang aktivis perempuan bernama Ani, sangat mengharapkan novel ini dapat memberikan pembelajaran dan membawa perubahan pola pikir perempuan dalam memaknai sebuah keperawanan. Menutup diskusi, sang pembicara, Saifur Rohman kembali menggarisbawahi bahwa dalam novel ini, keperawanan bagi perempuan bukanlah objek tertindas oleh sistem sosial, tetapi berdiri sebagai subjek pendobrak dominasi patriarkhi.