Solo – Buku adalah jendela informasi dunia. Ada pula yang menyebut buku sebagai guru yang paling sabar. Dan dalam sebuah iklan layanan masyarakat, Tantowi Yahya jelas mengatakan bahwa orang yang tidak suka membaca buku adalah mereka yang dekat dengan garis kemiskinan. Yang jelas keberadaan buku dalam masyarakat adalah baik adanya, dan buku ada untuk dibaca.
Akan tetapi, pada kenyataannya dari institusi keluarga sendiri sejak dini tidak membiasakan budaya membaca kepada anggotanya. Yang dilakukan oleh keluarga adalah malah menyerahkan pendidikan literacy ini pada sekolah.
Itulah yang diungkapkan Bandung Mawardi di sela-sela acara Ngudarasa Sastra, di Balai Soedjatmoko, Minggu (07/03). Peneliti di Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai itu mengungkapkan keprihatinannya terhadap minat baca di kalangan anak muda saat ini.
“Kebanyakan anak muda mulai mengeluh terhadap tidak tersedianya bacaan untuk mereka. Padahal kalu saya lihat, mereka mampu membeli sepatu, celana, ataupun nonton bioskop. Tetapi untuk membeli buku seharga 30.000 rupiah, mereka tidak mau.”, ungkap Bandung.
Karena kurangnya edukasi dari institusi keluarga yang memberikan stimulus untuk membaca. Keluarga menyerahkan pendidikan literacy ini kepada sekolah, selanjutnya sekolah menyalahkan pemerintah. Yang penting adalah kita harus bisa keluar dari lingkaran ini.