Solo – Kamera analog mungkin tinggal menyisakan kenangan bagi kita. Entah, apakah saat ini anda masih menyimpannya ataukah sudah dipindahtangankan.
Ya, di era 1900-an hingga awal 2000, kamera analog mencapai era keemasan. Di setiap obyek wisata menjadi hal yang biasa jika orang menenteng kamera jenis ini. Akibatnya, vendor pun saling berlomba menawarkan produk film dengan iming-iming mampu menghasilkan kualitas gambar yang nyata.
Namun, seiring perkembangan teknologi, kamera analog mau tak mau harus rela turun tahta. Invasi kamera digital di pasar global berhasil mengkudeta kamera analog yang sekian lama menempati singgasana.
Ibarat cendawan di musim hujan, di era millennium ini kamera digital telah merebak menjadi bagian dari lifestyle alias gaya hidup kebanyakan orang. Bahkan, inovasi dari sejumlah vendor gadget memungkinkan kamera jenis ini terintegrasi ke dalam handphone, laptop, maupun PC tablet.
Mungkin tak pernah terbayang di benak kita, ada yang tersisihkan akibat menjamurnya teknologi kamera digital. Ya, mereka adalah tukang afdruk alias cuci cetak film yang banyak mangkal di sisi timur Jl Dr Soepomo.
Sejak tak ada lagi kamera analog, usaha mereka jadi surut. Sebagaimana diakui Suharningsih, saat ini ia lebih banyak duduk-duduk ketimbang melayani pelanggan yang minta dicetakkan foto ukuran 3×4 ataupun 4×6. “Sekarang sepi sudah tidak seperti dulu lagi,” keluhnya ketika ditemui Timlo.net, Sabtu (18/6).
Bahkan, kerapkali ia harus pulang dengan tangan hampa lantaran tak dapat konsumen sama sekali. Padahal, di tahun 1990-an dalam sehari dirinya mampu mengantongi Rp 300 ribu. Ironis memang jika kita melihat kondisi ini. Di satu sisi, perkembangan teknologi kian mempermudah pekerjaan. Namun, di balik itu ada orang-orang yang harus tersisihkan.
Deraan semakin bertambah ketika tukang afdruk kilat harus menerima kenyataan, bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci cetak mengalami kenaikan harga. Sementara harga yang ditawarkan pada konsumen tak mungkin dinaikkan.
“Biaya cetak Rp 5.000, susahnya kalau harga obat dan kertas naik. Saya tidak bisa menaikkan karena pelanggan akan lari,” kata Suharningsih. Bisnis inipun terasa kian berat lantaran tukang afdruk kilat di kompleks Kantor Pengadilan Negeri ini harus mengeluarkan biaya retribusi Rp 600 perhari.
Senasib dengan Suharningsih, Hari menuturkan dirinya kerap mendapat untung tak seberapa. Tak jarang ia harus menutup kiosnya jam 16.00 WIB lantaran hanya disinggahi segelintir orang. Padahal di tahun 1990-an, jika belum jam 21.00 WIB, ia belum akan menutup kiosnya. “Ya saya hanya mencoba bertahan demi keluarga,” ucap Hari.