Solo – Langkah panjang tampaknya memang harus ditempuh kalangan eksportir mebel demi mendapatkan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari pemerintah. Mengingat sejauh ini pelaku usaha mebel masih terganjal sejumlah dokumen teknis yang menyangkut perizinan.
Selain dokumen-dokumen yang menyangkut legalitas perusahaan, Wakil Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komda Soloraya, Adi Dharma Santoso, menyebut eksportir juga harus melekatkan dokumen lacak balak (chain of custody) sebagai kelengkapan proses sertifikasi.
“Hal-hal itu yang menjadi kendala dalam grup, disamping memang masih ada kendala manajerial. Bagaimana memformulasikan sistem dari sekian banyak perusahaan yang disatukan dalam satu manajerial,” katanya, saat ditemui wartawan, di sela-sela acara Persiapan Pilot Project Nasional Penerapan SVLK secara Grup, di Graha Sabha Buana, Selasa (20/11).
Oleh sebab itu, guna memuluskan langkah sertifikasi perlu adanya dukungan pemerintah daerah terkait proses perizinan dokumen legal perusahaan. Mengingat hingga kini masih ada kabupaten yang menerapkan prosedur berbelit dan mahal dalam pelayanan dokumen usaha.
Koordinator Kelompok SVLK, Zakki Riyan Isnaini, membenarkan saat ini kendala utama sertifikasi SVLK tidak jauh dari dokumen legal formal perusahaan. Pelaku ekspor mebel harus memegang dokumen Eksportir Terdaftar Produk Industri Kayu (ETPIK). Sementara untuk mendapatkannya, eksportir setidaknya harus mengantongi sejumlah dokumen legal seperti HO, SIUP, TDP, NPWP dan IUI.
Sementara itu, persyaratan yang dibutuhkan untuk bisa mengikuti sertifikasi secara kolektif (grup), setidaknya pelaku usaha harus sudah memiliki surat tanda daftar industri (TDI). Di sisi lain, sistem sertifikasi secara grup ini hanya boleh diikuti pelaku UKM dengan omzet usaha di bawah Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan.