Solo — Non performing loan (NPL) alias angka kredit macet yang dibukukan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di kawasan Soloraya, sejauh ini terbilang cukup tinggi. Bank Indonesia (BI) Solo mencatat, pada Oktober 2012 kredit bermasalah BPR konvensional tembus di angka 6,95 persen.
Capaian ini jelas melebihi batas toleransi yang dipatok bank sentral sebesar lima persen. Salah satu faktor yang ditengarai menjadi pemicu tingginya kredit macet BPR, menurut Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo, Suryono, adalah sumberdaya manusia. Dalam hal ini pihak account officer (AO).
Dalam menjalankan tugasnya, banyak di antara AO yang kurang tepat dalam menaksir kelayakan calon penerima kredit. Padahal sebagai penyalur kredit, BPR dituntut berhati-hati dalam menaksir jaminan. Pasalnya, jika sampai terjadi kesalahan otomatis lembaga bersangkutan yang akan menanggung kerugian.
“BPR perlu kehati-hatian menaksir jaminan. Kalau dia salah menilai atau membuat taksiran, otomatis bank dirugikan. Oleh sebab itu, penaksir harus bisa memrediksi dua sampai tiga tahun ke depan,” ujar Suryono kepada wartawan, di sela-sela acara Pelatihan Analisis Kredit untuk BPR/BPRS, di kantor bank setempat, Kamis (13/12).
Terlepas dari itu, tingginya angka kredit macet BPR konvensional bisa jadi akibat kurang pekanya AO dalam menangkap karakter calon penerima kredit. Termasuk kondisi ekonomi dan kemampuan mengangsur cicilan.
Sementara untuk BPR Syariah sendiri, pada periode tersebut nilai kredit macetnya jauh lebih rendah ketimbang BPR konvensional. Bank tersebut membukukan NPL sebesar 2,8 persen.