Solo — Perbankan dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan sudah barang tentu perlu menerapkan prinsip kehati-hatian. Oleh sebab itu, salah satu hal pokok yang wajib dipahami pihak bank adalah penerapan 5C dalam penilaian calon penerima kredit, guna menekan besarnya angka kredit bermasalah.
Adapun 5C yang dimaksud, yakni character, capacity, collateral, condition of economy dan capital. Seluruhnya berkaitan dengan kelayakan calon penerima kredit mendapatkan pinjaman.
Sebagai ujung tombak bank, tim appraisal atau account officer (AO) bank, menurut Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo, Suryono, wajib membekali diri dengan kelima unsur tersebut. Dengan begitu harapannya bisa menaksir jaminan dengan tepat.
“Menaksir ini merupakan salah satu yang utama. Kalau taksirannya terlalu tinggi yang dirugikan bank, sementara kalau taksirannya terlalu rendah nasabah yang dirugikan,” ungkapnya kepada wartawan, di sela-sela acara Pelatihan Analisis Kredit untuk BPR/BPRS, di kantor bank setempat, Kamis (13/12).
Meski begitu, besarnya nonperforming loan (NPL) alias kredit bermasalah bukan semata-mata disebabkan kesalahan dalam menaksir. Namun juga banyak dipengaruhi kekurangpahaman tim appraisal atau AO atas penerapan 5C tersebut.
Oleh sebab itu, mereka dituntut memiliki kepekaan dalam menangkap karakter calon penerima kredit. Termasuk kondisi ekonomi dan kemampuan mengangsur cicilan.
Hal ini dirasa cukup penting, mengingat hingga kini masih banyak AO yang kurang tepat dalam menaksir. Akibatnya, calon penerima kredit yang seharusnya tak layak, pada akhirnya mendapatkan persetujuan atas pinjaman.