Solo — Program Ekolabel Indonesia yang telah digulirkan pemerintah beberapa waktu lalu hingga kini tampaknya masih disambut dingin kalangan pelaku industri Tanah Air.
Salah satu pokok persoalan yang disinyalir menjadi kendala atas implementasi program tersebut, menurut Kepala Bidang Teknologi Ramah Lingkungan Asisten Deputi Standarisasi dan Teknologi Kementerian Lingkungan Hidup, Arif Wibowo, yakni komitmen manajemen perusahaan.
Jika ditilik secara mendalam, cukup banyak jajaran manajemen perusahaan yang memahami pentingnya efisiensi, kaitannya dengan sistem produksi ramah lingkungan. Hanya saja, dalam implementasinya hal tersebut belum berjalan sebagaimana yang dikehendaki.
Seperti di industri tekstil misalnya, Arif mengatakan, sejauh ini masih banyak pelaku usaha yang belum menerapkan ekolabel dalam proses produksinya. Mengingat infrastruktur yang dibutuhkan juga membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit.
“Sebetulnya pemerintah telah memberi insentif, tapi memang nilainya masih harus ditingkatkan. Baik insentif finansial maupun insentif yang nonfinansial,” ungkapnya, ketika ditemui wartawan di sela-sela acara Workshop Industri Tekstil dan Eco Labeling, di Solo Paragon Hotel and Residences, Selasa (26/2).
Insentif finansial yang telah diterapkan pemerintah, di antaranya berupa soft loan yang belakangan ini mulai dikembangkan. Sementara insentif nonfinansial lebih berupa mekanisme pembebasan pajak untuk impor teknologi.
Ekolabel sendiri pada prinsipnya merupakan perangkat sukarela yang difokuskan pada perbaikan produk. Tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai aspek lingkungan, mulai dari bahan baku hingga setelah habis masa pakai. Dengan demikian, bisa menekan tingkat pencemaran maupun kerusakan lingkungan akibat proses produksi yang dilakukan.