Solo — Dalam pelaksanaan Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Solo memiliki sejumlah catatan. Mulai dari jatuhnya korban baik meninggal dunia maupun di rawat di rumah sakit hingga kasus sengketa yang berhasil diselesaikan.
“Ada beberapa permasalahan yang menjadi sorotan kami dalam penyelenggaraan Pemilu 2019,” ungkap Kepala Bawalu Kota Solo, Budi Wahyono kepada wartawan, Rabu (29/5).
Pertama, aspek regulasi dengan penetapan UU Nomor 7 tahun 2017 dengan waktu yang berhimpitan dengan dimulainya tahapan Pemilu. Sehingga, tidak memberi cukup waktu luang untuk melakukan penyesuaian peraturan. Lalu, kedua aspek tahapan dengan pemutakhiran data pemilih. Dalam hal ini, terjadi perubahan data pemilih lantaran tidak dilakukannya pencocokan dan penelitian (Coklit).
“Lalu, ketiga tahapan pemilu yang panjang dengan harapan lebih memahamkan masyarakat justru menjadi boomerang bagi pelaksana. Pasalnya, selama masa tahapan kampanye yang panjang ini Bawaslu menangani dua penyelesaian sengketa proses Partai Berkarya dan Partai Nasdem. Lalu, kasus dugaan pidana Pemilu empat kasus, pelanggaran administratif satu kasus dan sebanyak 12.018 pelanggaran APK (alat peraga kampanye-red) baik dari parpol, caleg hingga tim pemenangan Paslon,” kata Budi.
Faktor keempat, lanjut Budi, adalah manajemen logistik yang ditangani kurang profesional. Di Kota Solo sendiri, pihaknya menemukan ada sebanyak 894 TPS atau 51,5 persen TPS yang masih kekurangan surat suara dengan jumlah beragam antara 1-300 kertas suara di tiap TPS. Kekurangan surat suara berdasar hasil pengawasan di tingkat TPS sejumlah 13.617 lembar surat suara dan terjadi kelebihan surat suara sebanyak 10.423 surat suara.
Beban kerja yang dialami oleh petugas KPPS juga menjadi sorotan dari Bawaslu Kota Solo. Faktor kelima ini mengakibatkan turunnya daya fisik para penyelenggara hingga menimbulkan fatalitas yang tak dapat dipandang sebelah mata.
“Dan terakhir, atau keenam adalah kasus kesalahan hitung, salah input hingga perlakuan surat suara yang tidak sah, ketidaktahuan mengenai adanya form C7 di tiap TPS, adanya para saksi yang tidak boleh masuk TPS, menunjukkan fenomena gagal paham di sejumlah wilayah. Artinya, mereka yang ada di TPS masih gagal paham dan berimbas pada sosialisasi yang diberikan seperti apa?” tambahnya.
Terkait sejumlah kekurangan tersebut, pihaknya memberikan rekomendasi kepada pemerintah, penyelenggara dan pihak terkait lainnya, supaya duduk bersama merumuskan sistem Pemilu yang sederhana dan dimengerti seluruh masyarakat Indonesia.
“Termasuk, jangan ada kesalahan input yang terjadi untuk menjaga marwah penyelenggara Pemilu. Bahwa proses rekapitulasi Pemilu ini merupakan konsep serentak mulai tingkat TPS hingga ke pusat,” katanya.
Editor : Marhaendra Wijanarko