Solo – Sebelum ASEAN-China Free Trade Agreement atau ACFTA berlaku pada 1 Januari 2010, ponsel China sudah banyak merambah pasar Indonesia. Namun, sejumlah pedagang ponsel di Mangga Dua mengaku bahwa kedatangan FTA itu masih belum berdampak secara langsung.
Apakah penjualan dan peminat ponsel China naik setelah adanya ACFTA pada awal tahun 2010? "Tidak juga," kata Septi, pengecer ponsel di Jembatan Niaga II Mall Mangga Dua, Jumat (22/1/2010).
"Orang memang membeli karena murah, tapi fiturnya banyak." Septi malah beranggapan bahwa ponsel-ponsel China laku karena mengikuti tren bentuk qwerty, seperti BlackBerry, tetapi dengan harga yang sangat bersahabat. Ia juga mengaku bisa menjual lima ponsel China dalam sehari, walau ada juga hari-hari yang memang sepi pengunjung.
ACFTA membuka peluang membanjirnya ponsel merek China di Indonesia. Namun, para pengecer pun rata-rata hanya menjagokan nama yang sudah dikenal luas. "Awalnya memang booming, tetapi sekarang sudah rata-rata karena banyak (tipe). Yang nge-top yah paling Nexian," ucap Adi, seorang pengecer ponsel di Jembatan Dusit ITC Mangga Dua, Jumat.
Adi juga mengakui, pangsa pasar dengan kualitas rendah atau low-end sudah dikuasai merek China. "Kalau dananya cuma sekitar Rp 800.000, beli Nokia dapat apa coba? Fitur tambahan terbagus paling cuma radio," ungkap Adi yang menunjukkan bahwa ponsel merek China dengan budget yang sama sudah memilikidual SIM card, memudahkan browsing Facebook dan situs jejaring sosial lainnya, serta kamera VGA.
Namun, kalau ada dana dan mencari-cari fitur lebih, seperti kamera yang lumayan bagus, menurut Adi, orang tetap akan lari ke merek para pemain lama, seperti Nokia atau Sony Ericsson. "Justru ponsel China yang mahal tak laku. Yang low-end sajalah."