Solo — Sistem resi gudang (SRG) yang diharapkan bisa membantu penyimpanan sebagian hasil panen, hingga kini rupanya belum banyak memikat minat petani di kawasan Soloraya. Padahal, sistem ini sebenarnya sangat berperan dalam mengamankan stok pangan tetap stabil, serta menghindarkan petani dari tekanan spekulan.
Praktik SRG sendiri, menurut peneliti dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Lukman Hakim, memang baru saja dirintis dua tahun lalu. Sejauh ini baru ada dua lokasi gudang, yakni di kawasan Gemolong (Sragen) dan Wonogiri.
“Ini gudang sudah jadi, tapi belum berjalan. Ya karena tidak ada lembaga yang meng-indoors petani,” jelasnya, saat menyampaikan paparan dalam High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kota Surakarta, di Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Solo, Rabu (19/12).
Petani sebenarnya cukup diuntungkan dengan adanya SRG, pasalnya mereka akan mendapatkan sertifikat kepemilikan barang. Selanjutnya sertifikat tersebut dapat dijadikan agunan untuk pengajuan kredit ke bank.
Hanya saja, permasalahannya sebagian petani mengalami hambatan dalam mengakses pendanaan di bank, lantaran dinilai tidak feasible dan bankable. Oleh sebab itu, menurut Lukman, perlu adanya badan usaha milik petani (BUMP) yang bisa mewakili kalangan petani dalam merespon segala tuntutan pihak eksternal.
Di lain pihak, Pimpinan Bank BRI Cabang Solo Sudirman, Danang Widiyoko, beberapa waktu lalu juga mengatakan, sejauh ini minat petani terhadap sistem resi gudang masih cukup rendah. Buktinya dalam dua tahun beroperasi, tingkat penyerapan beras maupun gabah masih sangat sedikit.
“Sebenarnya dengan sistem resi gudang ini, kalau harga rendah dia (petani) bisa simpan di gudang, dia dapat uang dari kami,” tandasnya.