Timlo.net — Alat pendeteksi dini besaran guncangan gempa bumi diserahkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo kepada Bupati Pandeglang.
Alat bernama ‘intensity meter’ itu akan bekerja memberi sinyal sekurang-kurangnya 13 detik sebelum gempa terjadi. Sinyal gempa akan diterima oleh BMKG pusat dan kemudian akan diteruskan ke masing-masing BPBD yang telah memiliki alat tersebut.
Alat itu diserahkan ke BPBD Kabupaten Pandeglang, yang diwakilkan Bupati Pandeglang Irna Narulita. Penyerahan dilakukan di sela kegiatan simulasi evakuasi tsunami, yang merupakan rangkaian dari Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) Tsunami 2019 di Shelter Tsunami, Labuan, Pandeglang, Banten, Rabu (14/8).
Setelah data rekaman diterima, wewenang kemudian diserahkan sepenuhnya kepada pihak BPBD untuk mengambil tindakan dan kebijakan yang dianggap perlu sebagai reaksi cepat tanggap darurat bencana kepada masyarakat.
Dwikorita meminta agar alat pendeteksi gempa bumi hibah dari Jepang itu selalu dirawat agar bisa berfungsi sesuai dengan tujuan dan manfaatnya. Dwikorita juga berpesan untuk tidak merusak alat-alat pendeteksi dan pengirim sinyal yang ada di lapangan.
“Ingat, ya. Saya mohon dengan sangat agar beberapa alat pendeteksi dini yang sudah kita pasang jangan dirusak, apalagi diambil. Ini demi kemaslahatan bersama,” kata Dwikorita.
Sementara itu, Kepala BNPB Doni Monardo juga mengingatkan bencana alam bisa berulang. Selain pentingnya jenis alat Early Warning System (EWS) itu, hal lain yang harus dimiliki dalam menghadapi ancaman risiko bencana adalah peningkatan kapasitas manusia. Tanpa ada pengetahuan masyarakat tentang bencana dan mitigasinya, alat pendeteksi itu akan sia-sia.
“Selain alat ini (intensity meter), kapasitas masyarakat harus ditingkatkan. Karena nantinya jangan sampai menjadi sia-sia, ketika ada sirene gempa atau tsunami tapi masyarakatnya tidak tahu harus berbuat apa saat peristiwa alam itu terjadi. Jadi harus seimbang,” kata Doni.
Doni juga mengapresiasi hasil evaluasi dari simulasi bencana gempa bumi dan tsunami yang diikuti puluhan warga dan anggota Pramuka dari MTs Negeri 2 Pandeglang serta unsur terkait lainnya di Shelter Labuan. Dalam simulasi itu, seluruh peserta mampu mencapai titik lokasi evakuasi yang berada di lantai atas shelter kurang dari 10 menit. Terlebih ketika pesertanya lebih banyak dari kaum wanita dan anak-anak.
“Luar biasa. Evaluasi (simulasi bencana gempa dan tsunami) sudah bagus. Meski saya lihat lebih banyak ibu-ibu dan anak-anak, tapi semuanya bisa memakan waktu kurang dari sepuluh menit sampai ke titik kumpul. Capek ya, Bu? Tapi tetap semangat ya,” kata Doni.
Doni juga menekankan simulasi bencana itu penting. Sebab, wilayah Labuan termasuk zona rawan gempa dan tsunami. Doni juga meminta kegiatan simulasi ini sering dilakukan di Shelter Labuan, yang akan menjadi markas BPBD setempat.
“Simulasi ini penting karena wilayah ini dekat dengan pantai dan berada pada zona rawan gempa. Semoga hal ini bisa menjadi kegiatan rutin sehingga kita semua lebih tangguh menghadapi ancaman risiko bencana,” ujar Doni.
Seusai evaluasi simulasi dan serah-terima alat pendeteksi guncangan gempa bumi, Doni dan Dwikorita lanjut memasang rambu rawan tsunami dan menanam mangrove sebagai sabuk pantai alami di Pantai Galau.
Sumber: DetikCom
Editor : Wahyu Wibowo