Karanganyar — Diangkat melalui seni sinematografi, legenda Wahyu Kliyu dari Dusun Kendal, Desa/Kecamatan Jatipuro, Karanganyar memvisualisasi peristiwa penting yang mengawali perayaan upacara tahunan bersih dusun tersebut.
Berdurasi 30 menit, film dokumenter garapan penggerak karang taruna desa ini mencuplik perjalanan Pangeran Samber Nyowo di Desa Jatipuro saat melawan penjajah Belanda.
“Kami menggarapnya selama sepekan sebelum puncak acara Wahyu Kliyu. Bisa dibilang dadakan. Namun dengan arahan para sesepuh dan penutur sejarah desa, alurnya dapat. Bahkan klimaksnya persis sama seperti cerita Wahyu Kliyu yang kami dengar sejak kecil,” kata Sutradara sekaligus Editor Legenda Wahyu Kliyu, Surya Abdul Madjid, Senin (16/9).
Seluruh dialog dituturkan berbahasa Jawa. Masyarakat awam dapat memahami percakapannya dengan membaca bahasa indonesia pada teks. Berbagai adegan bersetting waktu saat zaman Ki Renggo Wijoyo menjabat kepala desa atau delapan generasi lalu.
Sejumlah warga Dukuh Kendal mempercayai apabila menghentikan upacara adat itu maka akan menyebabkan malapetaka. Dahulu, warga pernah menghentikan upacara adat Wahyu Kliyu. Akibatnya tanah warga kering karena kemarau panjang, banyak warga sakit, dan bencana alam lindu.
Sejumlah warga berinisiatif mengukur kedalaman retakan tanah menggunakan genter atau bambu yang disambung-sambung. Tetapi tidak pernah sampai dasar. Mbok Rondo Menang menyarankan kepala desa saat itu agar menghadap Raja Keraton Solo untuk melaporkannya. Akhirnya, Keraton memerintahkan warga melaksanakan Wahyu Kliyu lagi dengan 344 apam.
“Klimaksnya saat terjadi bencana karena warga lalai melakukan Wahyu Kliyu,” katanya.
Kualitas akting para pemeran tergolong lumayan. Renggo Wijoyo diperankan Jarno, Mbok Rondho oleh Dwi Indri, Jogo Yudho oleh Beny dan kawan-kawan.
Meski hanya diperankan para pemuda pemudi Karang Taruna, namun mereka berpengalaman pentas di panggung ketoprak, karawitan dan seni tradisi lainnya.
“Garapan ini diharapkan menjadi pencerah sejarah. Karena anak-anak sekarang kurang memahami. Film ini merupakan dokumentasi yang bisa diakses mudah,” katanya.
Editor : Marhaendra Wijanarko