Solo — Pemeran tokoh Rima dalam film “Mata Tertutup” karya sutradara Garin Nugroho, Eka Nusa Pertiwi mengaku kaget saat terpilih memerankan sosok tersebut. Pasalnya, dirinya sama sekali tidak diberikan naskah dialog yang dijadikannya sebagai pedoman dalam memerankan sosok perempuan yang terjerat oleh organisasai Negara Islam Indonesia (NII) yang notabennya menyimpang dari ajaran dan syariah Islam yang sesungguhnya.
“Saya sangat terkejut ketika memerankan tokoh Rima. Saat memerankan tokoh itu saya tidak diberikan skrip naskah dialog sama sekali,” tuturnya dalam sesi bincang-bincang usai pemutaran film Mata Tertutup di Ruang Cinema Omah Sinten, Rabu (6/1).
Diungkapkan, dalam memerankan sosok gadis yang sedang gundah karena pencarian identitasnya tersebut dirinya mengandalkan improvisasi antar pemain. Sehingga dirinya harus menyelami tiap peran dan karakter masing-masing pemain.
Dia juga mengaku hal itu tidak membuatnya pusing. Sebab, perempuan yang kuliah di Jurusan Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut memang ingin mengasah kemampuannya di seni peran.
“Kalau masalah improvisasi, saya sering menggunakannya dalam membawakan sosok tokoh saat pertunjukan teater. Namun, dalam pikiran saya kalau memerankan tokoh di film itu identik dengan naskah hingga ratusan halaman,” paparnya perempuan yang juga aktif dalam berbagai kegiatan kesenian tersebut.
Ia menilai, sosok yang diperankannya tersebut identik dengan penyelewengan yang dilakukan anak muda. Seharusnya, anak muda diberikan wadah untuk mengepresikan tenaga dan pikirannya ke hal yang bersifat positif. Kurangnya wadah ekspresi akan mengakibatkan kecenderungan mereka untuk lari kepada hal-hal negatif.
“Tokoh Rima ini memberikan gambaran pada saya bahwa kurangnya wadah ekspresi akan berakibat pada larinya anak muda khususnya usia pelajar ke hal-hal negatif. Sehingga dengan adanya wadah yang menampung kreativitas mereka maka energi dan pemikiran mereka dapat diarahkan ke arah yang positif,” jelasnya.
Pihaknya berharap agar film yang ditujukan sebagai propaganda anti kekerasan dan anti fundamentalisme tersebut dapat membentengi pelajar-pelajar Indonesia, khususnya di Kota Solo agar tidak terjerumus ke dalam paham-paham yang mengatasnamakan agama dalam penyebarannya, padahal hal itu merupakan doktrin yang salah.
“Film ini semoga dapat membentengi pelajar dari penyalahgunakan paham yang menyimpang dari ajaran aslinya,” pungkasnya.