Solo – Sekaten merupakan tradisi turun temurun yang diadakan setiap tahun di Kota Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Awal dari acara puncak Sekaten adalah dengan dikeluarkannya gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari seminggu sebelum Maulid Nabi yang jatuh pada tanggal 12 Mulud Tahun Jawa.
Sejarah sekaten sendiri berawal pada tahun 1939 Saka atau 1477 M, dibangunnya Masjid Agung Demak di Kabupaten Bintoro oleh Raden Patah selaku Adipatinya pada jaman itu dengan dukungan musyawarah para wali. Salah satu hasil musyawarah tersebut adalah meningkatkan syiar Islam selama tujuh hari terus menerus menjelang peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Supaya masyarakat tertarik dengan syiar tersebut maka diiringi dengan bunyi gamelan yang diciptakan oleh Sunan Giri dengan membawa gending-gending bernafaskan syiar Islam ciptaan Sunan Kalijaga. Hingga suatu saat masyarakat banyak yang tertarik untuk masuk agama Islam.
Para wali mengatakan, jika masyarakat ingin masuk agama Islam harus mengucapkan 2 kalimat Syahadat (Syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah berubah menjadi sekaten akibat perubahan pengucapan kata pada masa itu. Hhingga istilah itu dipakai sampai sekarang.
Sekarang sekaten mengalami pergeseran budaya, bukan lagi sebagai syiar agama Islam, tapi sudah merupakan tradisi pesta rakyat. Sekaten hanya ada di Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Di Surakarta sendiri puncak acara sekaten ditandai dengan dikeluarkannya gamelan keraton dari penyimpanannya di Bangsal Sri Manganti lalu disinggahkan di Bangsal Ponconiti. Kemudian dengan pengawalan para prajurit keraton, dibawa ke halaman Masjid Agung.
Gamelan Kyai Guntur Madu diletakkan di Pagongan Lor (utara) sedangkan Kyai Naga Wilaga diletakkan di Pagongan Kidul (selatan) halaman Masjid Agung. Prosesi ini disebut dengan upacara Mios Gangsa.
Gamelan akan dibunyikan selama tujuh hari berturut-turut kecuali malam Jumat dan Jumatnya. Gending-gending yang dibawakannya penuh dengan nuansa magis yang kental.
Ada tradisi unik setiap menjelang dibunyikannya gamelan. Biasanya setiap mendengar suara gong saat ditabuh (dipukul), masyarakat yang datang akan mengunyah daun sirih, gambir, tembakau, dan kapur (nginang). Masyarakat percaya dengan makan sirih akan awet muda dan mendapat berkah.
Ada kepercayaan yang masih melekat di kalangan masyarakat, bahwa setelah nginang, jika bibir dan gigi kita tidak berwarna merah, berarti kita sering berbohong.
Puncak dari acara sekaten sendiri adalah Grebeg Sekaten atau Grebeg Mulud, yakni dikeluarkannya gunungan Jaler dan gunungan Estri untuk dikirab dari Keraton Solo menuju Masjid Agung. Begitu tiba di masjid, semua gunungan itu akan didoakan sebelum diperebutkan pada masyarakat yang biasanya memadati halaman masjid.
Karena padatnya pengunjung, biasanya tidak semua gunungan bisa diletakkan di serambi masjid. Ada juga gunungan yang hanya sampai di depan gapura masjid dan juga alun-alun utara.
(Diolah dari berbagai sumber)
Rony/Timlo.net