Solo — Teater Akar Solo menggelar pentas monolog berjudul Nyi Sulastri di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kentingan, Jebres, Selasa (23/4) malam. Naskah karya Gigok Anuraga tersebut dipentaskan dengan dua pemeran.
Pementasan monolog berbahasa Jawa yang digelar untuk merayakan ulang tahun Teater Surakarta (Tera) ke-30 ini berkisah tentang sosok Sulastri, anak pelacur yang mengalami berbagai pergumulan hidup. Mulai dari dikhianati kekasih sampai menemukan keadaan yang terpuruk secara ekonomi. Namun, Sulastri dalam kisah ini digambarkan memiliki tekad kuat untuk memperbaiki nasibnya, meskipun terpaksa meninggalkan kekasih keduanya, Sumarno.
Penulis naskah, Gigok Anuraga mengatakan, pementasan yang disutradarai Yogiswara Manitis Aji ini tak sekadar mengangkat tentang kesetaraan gender, tapi juga menekankan kepada sisi kodratiah naluri sosok perempuan yang juga merindukan pasangan, berkeluarga dan memiliki anak.
“Jadi tetap kita kembalikan kepada kodratnya, bahwa secara naluri, sosok perempuan juga memiliki kerinduan untuk memiliki pasangan hidup, membina rumah tangga, mempunyai anak,” terang Gigok, teaterawan Teater Tera ini.
Berbeda dengan yang dipentaskan tahun-tahun sebelumnya oleh teater Tera, lakon Nyi Sulastri versi penyajian Teater Akar ini membungkusnya dengan kekuatan visual sugestif oleh pembatas ruang dalam bingkai dan arsitektural instalasi garapan Jagad Aji, serta iringan musik garapan Respati Galang Swastika Aji yang cenderung mendayu. Romantisme cukup lama dieksplor.
Heroisme sosok Sulastri menjelang akhir pertunjukan diluluhkan kembali dengan adegan kembalinya Sumarno yang juga sudah bernasib mujur. Meskipun demikian, pementasan ini meneror penonton dengan ditangkapnya Sumarno lantaran terseret kasus Narkoba.
Selebihnya sunyi, di antara remang cahaya, Sulastri membatik. Dia merasakan seperti ada pintu yang dibuka.
“Sapa kuwi? Lawange ora tak kunci! Mlebua! (Siapa itu? Pintu tidak ku kunci, masuklah),” kira-kira begitu kata Sulastri.
Lighting black out. Pertunjukan usai.