Solo — Dengan mengenakan kostum warna putih ala bidan yang sedikit kedodoran, salah seorang personel kelompok Sahita, Mbak Inong duduk tenang ditemani tiga cangkir minuman di panggung kecil Balai Soedjatmoko Solo. Berlembar naskah berada dalam genggamannya.
Kali ini perempuan yang akrab seniman ini tidak sedang nembang maupun bermain teater, melainkan membaca Cerkak karya Suparta Brata berjudul ‘Pasien Pungkasan’ (Pasien Terakhir — Red) di hadapan empat puluhan penonton yang duduk lesehan.
Diiringi musik gamelan oleh Max Baihaqi, seniman lulusan STSI Surakarta ini membacakan Cerkak yang berkisah tentang perasaan yang terlarang, theklek kecemplung kalen, timbang golek luwung balen, yakni memimpikan sang mantan kembali kepadanya dari pada harus mencari lelaki lain, padahal pria itu sudah beristri.
Selanjutnya perempuan kelahiran Sragen, Jawa Tengah ini membacakan Cerkak berjudul ‘Mantu’ karya Impian Nophitasari, ‘cerkakis’ (penulis Cerkak) muda yang namanya belakangan ini sering bertengger di sejumlah media cetak berbahasa Jawa. Kali ini Mbak Inong mengenakan kebaya motif kembang-kembang serta jarik (bawahan bermotif batik). Membaca karya ini, perempuan bernama lengkap Wahyu Widayati ini dibantu seniman Solo, Ibnu Sukodhok yang mengenakan kemeja batik berjaketkan kain lurik warna biru. Secara bergantian kedua seniman ini membacakan narasi demi narasi. Sedangkan untuk dialog, mereka membacakan peran tokohnya masing-masing.
Cerpen romantis tapi nggrantes ini berkisah tentang perempuan yang dijual suaminya menjadi pekerja seks komersial. Padahal semula tokoh Marni dan orangtuanya percaya saja, bahwa lelaki itu adalah penguasaha kaya raya dari Jakarta. Ehh, tak tahunya germo yang suka tipu sana-tipu sini.
Cerkak banyak dijumpai di majalah-majalah berbahasa Jawa serta koran harian yang menyediakan lembar berbahasa Jawa, tak sering divisualisasikan dengan pembacaan, seperti halnya geguritan (puisi berbahasa Jawa).
Kepada Timlo.net, Mbak Inong mengaku baru kali pertama membaca Cerkak dengan konsep panggung, meskipun sederhana. Pun demikian dengan Pak Kodhok yang baru kali ini membacakan karya sastra berbahasa Jawa, selama berpuluh-puluh tahun terjun ke dalam dunia teater. Namun, jebolan Bengkel Teater ini mengaku sangat menikmati pembacaan karya sastra berbahasa Jawa.
“Ya istimewanya tidak semua Bahasa Jawa itu bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Istimewanya lagi, dalam membaca karya berbahasa Jawa ini ada kenikmatan tersendiri terhadap rasa. Jadi Bahsa Jawa itu ada rasanya,” terang pria beruban merata ini.
Pengelola Balai Soedjatmoko, Yunanto Sutyastomo mengatakan, klangenan pembacaan Cerkak, Jumat (11/10) malam itu merupakan pementasan perdana. Rencananya pementasan serupa akan rutin digelar saban dua bulan.
