Solo — Industri farmasi nasional membutuhkan investasi besar dan berkesinambungan dalam rangka menghadapi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai 1 Januari 2014 mendatang.
Hal itu menurut Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi cukup beralasan, mengingat penerapan program tersebut bakal berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satunya terkait pemenuhan kebutuhan obat.
Oleh sebab itu, sebagai upaya menghadapi JKN industri farmasi nasional diharapkan mempersiapkan diri memenuhi kebutuhan obat di Indonesia. Di samping meningkatkan produksi, pelaku industri farmasi perlu menyiapkan jaringan distribusi yang memenuhi standar.
“Saya harap agar jajaran industri farmasi menyiapkan diri dalam pemenuhan kebutuhan obat di Indonesia. Ini perlu jaringan distribusi yang memenuhi standar, sehingga perlu investasi besar dan berkesinambungan,” kata Nafsiah Mboi dalam Rakernas Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Bidang Industri 2013, di Novotel, Kamis (7/11).
Sementara dalam tiga tahun terakhir, sejak 2011 hingga 2013 jumlah investasi baru di industri farmasi mencapai Rp 1,5 triliun. Meski begitu, kontribusi industri ini terhadap gross domestic product (GDP) Indonesia masih relatif kecil, yakni 0,5 persen.
JKN sendiri pada dasarnya merupakan asuransi kesehatan sosial yang sifatnya wajib bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Anung Sugihantono, besaran premi harus bisa ditentukan secara tepat.
“Preminya yang tepat berapa, ini yang perlu dibahas karena premi untuk masyarakat miskin kan ditanggung pemerintah. Padahal, proporsi industri farmasi menyerap anggaran pemerintah cukup tinggi. Nah inilah yang harus diseimbangkan,” pungkasnya.