Solo — Seni teater hanya sebatas pada euforia kemeriahan dan kemegahan panggung dengan tata artistik yang menawan. Tapi, tujuan di balik seni teater terletak pada esensi sajian yang ingin disampaikan kepada para penontonnya.
Hal itu disampaikan pegiat teater asal Yogyakarta Ibed Surgana Yuga saat ditemui wartawan usai sarasehan memperingati Hari Teater Dunia, di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kentingan, Jebres, Solo, Kamis (27/3) siang.
Menurutnya, seni teater yang ditampilkan harus mampu dicerna oleh para penontonnya. Tak hanya itu, maksud dan tujuan garapan sebuah seni pertunjukan khususnya teater tersebut juga harus jelas dan tidak absurd.
“Saat ini, banyak sekali komunitas teater yang menonjolkan pada garapan artistiknya semata. Namun, mereka lupa esensi dari pertunjukan yang mereka usung,” tutur pria yang kerap menjadi sutradara di kelompok Kalanari Theater Movement, Yogya tersebut.
Lebih jauh dijelaskan, memang tidak salah menonjolkan faktor tersebut mengingat perkembangan teknologi di bidang lighting, sound system juga makin berkembang pesat. Meski begitu, esensi sebuah pertunjukan teater juga harus mampu menyentuh jiwa ataupun membawa sang penonton ke dalam drama yang ditampilkan tersebut. Jika hal itu tidak terwujud, maka dapat dipastikan bahwa pemahaman tentang seni teater tersebut harus diperdalam lagi.
“Maka dari itu. Terkadang, pertunjukan teater ini akan cair tatkala masyarakat ataupun penonton mengerti esensi dari cerita yang diusungnya. Tapi, jika penggarapannya sangat bagus dengan tata lighting yang menawan itu tidak mampu membawa jiwa penonton untuk meresapi pertunjukan lalu apa gunanya,” tandas Ibed.
Sementara itu, pegiat seni teater lain, Wirawan lebih menyoroti tentang kurangnya komunikasi antara satu komunitas teater dengan komunitas teater lainnya. Menurut pria yang menjadi pembina di kelompok Teater Tulang SMA Negeri 6 Surakarta ini, kebanyakan kelompok teater asyik dengan komunitasnya sendiri dan tak mau menggali ilmu dari kelompok lainnya. Sehingga, dalam penggarapan karya yang diusungnya akan terkesan monoton dan kurang kreatif.
“Komunikasi antara komunitas teater harus selalu dibangun, supaya memperkaya konsep dan garapan saat pertunjukan,” ujar pria jebolan Teater Peron FKIP UNS ini.
D itempat yang sama, Albertus Rusputranto PA yang juga pegiat seni teater lebih menyoroti hilangnya tema yang menggigit pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Dimana, pada masanya dahulu seni teater memiliki musuh besar untuk mengusungnya ke panggung seni. Usai tergesernya rezim tersebut, maka garapan dari masing-masing komunitas seakan-akan terkatung-katung dalam ruang hampa dan mengalami kebangkrutan eksistensi.