Timlo.net – Ekonom Tony Prasetiantono melihat program perlindungan sosial digulirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mampu menjaga daya beli masyarakat jelang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pasalnya, program berwujud Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera itu masih bernilai kecil.
“Jujur, saya belum melihat ini cukup nendang dari sisi magnitude. Ketika angkanya sampai Rp 100 triliun itu baru nendang, itu akan memberikan purchasing power,” kata Tony merupakan komisaris independen PermataBank, Jakarta, Rabu (12/11).
Ibarat sepakbola, lanjut Tony, tiga kartu “sakti” Jokowi hanya memberikan perkuatan di lini belakang.
“Hanya sekedar defense. Kalau pemain bola yang penting tidak kebobolan, belum bisa menggolkan.”
Lalu, bagaimana membuat program perlindungan sosial agar “nendang”? Menurut Tony, itu harus sepenuhnya berasal dari realokasi anggaran subsidi BBM. Semisal, anggaran subsidi BBM saat ini Rp 250 triliun harus direalokasi ke proyek infrastruktur dan program bantuan langsung dengan proporsi sama.
“Itu baru dasyat, baru nendang, tapi takutnya menimbulkan moral hazard, orang jadi malas,” katanya.
Dia menambahkan, daya beli masyarakat miskin bakal meningkat ketika setiap keluarga disuntik bantuan Rp 800 ribu perbulan. Asumsinya, sekira 100 juta orang miskin memiliki penghasilan USD 1,25 perorang.
“Tentu saya tidak merekomendasikan itu begitu saja. Seperti yang terjadi di Yunani (ekonominya kolaps) karena orang miskin, pengangguran dan pensiunan diberi skema (perlindungan sosial) yang sangat baik.” [yud]
Sumber : merdeka.com