Wonogiri — Sepanjang Januari 2022 hingga 2 Desember 2022, ada 952 ternotifikasi TBC di Wonogiri. Penanganan TBC disebut diperlukan tanggung jawab dan dukungan berbagai pihak.
“Dari data yang ada, pada 2020 ditemukan 682 kasus TBC sementara di tahun 2021 ditemukan 628 kasus TBC. Berarti, ada kenaikan jumlah kasus TBC sebanyak 324 kasus jika dibandingkan tahun lalu, setidaknya hingga 2 Desember 2022,” ujar Kepala Dinkes Wonogiri Setyarini usai konferensi pers Komitmen Bersama Upaya Kolaborasi Penanggulangan Tuberkulosis yang diinisiasi Mentari Sehat Indonesia (MSI) Wonogiri, Selasa (20/12).
Menurut dia, peningkatan itu bisa terjadi karena sebelumnya tidak terlaporkan dan ada report di tahun ini. Dijelaskan, kenaikan jumlah kasus itu belum tentu merupakan hal negatif. Sebab, bisa juga menandakan investigasi kontak dilakukan secara optimal.
“Selain itu, bisa juga karena masyarakat yang makin peduli untuk memeriksakan diri,” katanya.
Setyarini menyebut, temuan kasus ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang fokus pada penanggulangan TBC. Dinkes juga bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengeliminasi TBC di Wonogiri.
“Semua stakeholder harus bareng-bareng bertanggung jawab agar target mengeliminasi TBC di Wonogiri bisa benar-benar tercapai,” ujarnya.
Pemkab Wonogiri kata Setyarini terus berupaya meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien TBC. Dimana, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran ratusan miliar untuk kesehatan yang diantaranya adalah untuk penanganan TBC. Bahkan, saat ini, terdapat 34 puskesmas, satu RSUD, delapan RS swasta dan 126 dokter mandiri dan klinik yang bisa melayani penderita TBC.
“Sosialisasi tentang TBC juga terus kami lakukan ke daerah atau desa melalui puskesmas-puskesmas yang ada. Selain itu, kami akan membuat rencana aksi daerah,” bebernya.
Sementara itu, Programmer MSI Wonogiri Wahyu Uliartha mengatakan terdapat sejumlah tantangan untuk mengeliminasi TBC. Menurut dia, pemerintah harus berkomitmen untuk menanggulangi TBC. Bukan hanya Dinkes, instansi lain juga harus turut andil dalam penanggulangan TBC.
Berjalannya waktu kata Wahyu, Sub-sub Recipient (SSR) MSI Wonogiri mendampingi 179 pasien TBC sensitif obat dan dan pasien resisten obat. Sementara pasien los to follow up (LTFU) atau pasien TBC putus obat ada tujuh orang.
“Di samping edukasi ke desa-desa, kami ikut menginvestigasi kontak, menemukan kasus. Lalu juga melakukan terapi pencegahan kasus kontak TBC serumah,” paparnya.
Berdasarkan pengalaman timnya di lapangan, biasanya penderita TBC ada juga yang merasa khawatir dikucilkan tetangganya. Selain itu, ada juga yang masih kurang sadar dengan kondisi kesehatannya.
Dokter Spesialis Paru RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri yang juga Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) Wonogiri Enny Sudaryati menjelaskan ada jenis pasien TBC, yaitu TBC sensitif obat (SO) dan resisten obat (RO).
Ditambahkan, TBC SO merupakan kondisi kuman penyebab TBC, Mycobacterium Tuberculosis, masih sensitif terhadap obat antiTB. Masa pengobatan pasien TBC SO selama 6-9 bulan.
Sedangkan TBC RO adalah kondisi kuman penyebab TBC telah mengalami kekebalan obat antiTB yang biasa diberikan sehingga obatnya berbeda.
“Pasien TBC RO biasanya karena lalai tidak minum obat anti TB. Misalnya, dulu ketika masih menjadi pasien TBC SO rutin mengonsumsi obat setiap hari selama dua bulan, tapi setelah itu mereka tidak rutin. Padahal lama pengobatan pasien TBC minimal enam bulan, itu bisa jadi pemicunya,” tandasnya.
Editor : Dhefi Nugroho