Sukoharjo – Pencemaran lingkungan kembali ditemukan di wilayah Kecamatan Grogol. Industri pengolahan tahu yang berada di Dukuh Turiharjo Madegondo, perbatasan dengan Dukuh Bacem, Langenharjo, diduga menjadi biang sumber masalah.
“Produksinya cukup besar, bau limbah semakin menjadi,” ungkap Surono (36) warga Dukuh Bacem RT 01/ RW 01, Langenharjo.
Menurutnya, pabrik tersebut berdiri lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu, ia telah menyampaikan protes atas bau tak sedap ini ke Kades Madegondo di mana juga telah diteruskan melalui surat ke dinas terkait.
Namun karena tak mendapat respon, dia mengaku tiap hari memprotes ke pemilik usaha tersebut. Hingga akhirnya pemilik usaha membuat cerobong dengan tinggi 1,5 meter.
“Janjinya akan meninggikan paling tidak 5 meter, saat itu kata pemiliknya menunggu bangunan keras. Namun ternyata setelah bangunan jadi ya tidak ditambah. Hanya 1,5 meter itu saja,” ucapnya.
“Sampai sekarang belum ada tindakan apapun, tentunya jika dibiarkan akan memperparah kerusakan lingkungan terutama kesehatan warga,” imbuhnya.
Kuat dugaan, pengusaha tahu tersebut tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sendiri. Sehingga bau tak sedap dari pembuangan limbah ke sungai tercium setiap hari.
Limbah berupa serbuk bekas pembakaran pengolahan tahu dibuang begitu saja di aliran sungai hingga menumpuk menyumbat arus air yang bermuara ke Bengawan Solo.
Akibat pelanggaran lingkungan yang telah berlangsung sejak lama itu, aliran sungai menjadi tersumbat. Selain bau tak sedap, sebagian bangunan pabrik tahu tersebut diduga berdiri di sempadan sungai. Lebar sungai semula sekira 6-7 meter, kini menyempit tinggal sekira 1 meter.
Dari pantauan di lokasi, bau tersebut cukup tajam. Bahkan baru 5 menit berada di lokasi, rasa mual itu muncul.
Pencemaran tersebut mendapat sorotan dari ketua salah satu LSM yang menamakan diri LAPAAN RI, Kusumo Putro. Dia mengatakan, pembuangan limbah ke sungai hingga menyebabkan pencemaran lingkungan adalah sebuah pelanggaran.
“Menurut kami, ini jelas sebuah pelanggaran Undang-undang Lingkungan Hidup, juga melanggar hak warga untuk hidup di lingkungan yang sehat,” kata Kusumo.
“Kami juga mendapat laporan, bahwa warga juga terganggu dengan suara bising mesin diesel saat operasional pabrik dari pukul 07.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB,” beber Kusumo.
Semula warga sudah melapor ke Pemerintah Desa Madegondo, namun laporan itu rupanya kurang mendapat respon dengan baik. Terbukti, pabrik tahu masih terus beroperasi hingga sekarang.
Oleh karenanya, sejumlah langkah akan dilakukan agar warga mendapat keadilan, di antaranya bersurat ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Satpol PP, Camat, dan pemerintah desa.
“Bila nanti dalam kajian kami ternyata ditemukan unsur pidananya, maka langkah hukum juga akan kami lakukan. Pelaku dapat dijerat UURI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” terangnya.
Adapun jerat tindak pidana dalam UURI itu, tercantum pada Pasal 98 Ayat (1) tentang baku mutu udara, air, atau kerusakan lingkungan, ancamannya pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
Kemudian pada Ayat (2) jika perbuatan pelanggaran UURI tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut menyebabkan bahaya kesehatan bagi manusia maka terancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun. Juga didenda paling sedikit Rp4 miliar, dan paling banyak Rp12 miliar.
Ancaman pidananya makin berat jika perbuatan pelanggaran lingkungan hidup tersebut mengakibatkan orang terluka atau mati. Selain dipenjara, juga terancam denda maksimal hingga Rp15 miliar.
Editor : Dhefi Nugroho