Solo — Empu tari asal Solo, Suprapto Suryodarmo meninggal dunia karena serangan jantung di Rumah Sakit dr Oen, Minggu (29/12) dini hari. Jenazah pria yang akrab disapa Mbah Prapto itu rencananya disemayamkan di Rumah Duka Tiong Thing, Jebres selama satu hari. Informasi ini disampaikan kritikus sastra yang dekat dengan Mbah Prapto, Halim HD.
“Sedang kita usahakan. Masih menunggu ruangan,” kata dia melalui telepon.
Setelah sehari disemayamkan di Tiong Thing, jenazah Mbah Prapto rencananya disemayamkan di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Senin (30/12) sekitar 10.00 WIB. Tradisi ini biasa dijalankan untuk seniman yang besar di TBJT untuk memberi kesempatan bagi seniman lain memberi penghormatan terakhir.
“Selanjutnya akan dibawa ke Delingan untuk dikremasi,” kata dia.
Rekan dekat Halim, Titus Soepono Aji menambahkan setelah dikremasi, abu Mbah Prapto dimakamkan di samping makam istrinya di Tempat Pemakaman Umum Bonoloyo.
“Rencana sementara seperti itu,” kata dia.
Sepekan yang lalu, Mbah Prapto dirawat di rumah sakit karena serangan jantung. Setelah mendapat perawatan, kondisinya membaik hingga diperbolehkan pulang. Sabtu (28/12) tengah malam, ia kembali mendapat serangan jantung hingga menghembuskan nafas terakhir pada 01.30 WIB.
Mbah Prapto dikenal sebagai pelopor seni gerak bebas Amerta. Konsep Seni Gerak Amerta ini memanfaatkan gerak sebagai sarana menyatunya jiwa dengan lingkungan sekitar. Konsep gerak Amerta yang dikembangkan Mbah Prapto sekitar tahun 1970-an ini mendapat respon positif dari penari dari berbagai negara.
Pentasnya ke Jerman (bersama koreografer Sardono W Kusuma) dalam Festival Pantomim Internasional tahun 1982 mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki pendekatan gerak bebas, sama dengan dirinya. Setiap tahun sejak lawatannya yang pertama itu, Mbah Prapto terus-menerus diundang untuk memberikan workshop dan mementaskan jogetnya di Eropa, Australia, Filipina, Korea, Jepang dan Amerika Serikat.
Ketika jaringannya mulai tersebar di banyak negara, tahun 1986 ia mendirikan Padepokan Lemah Putih, sebuah wadah untuk menampung murid-muridnya. Di padepokan itulah kemudian lahir komunitas Sharing Movemen. Istilah ini untuk menyebut teknik mengajar Mbah Prapto yang lebih banyak sharing.
Editor : Ari Kristyono