Solo — Jenazah seniman Suprapto Suryodarmo disemayamkan di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Senin (30/12) siang. Meski lahir dari kalangan keluarga pengusaha batik, pria yang akrab dipanggil Mbah Prapto itu sudah akrab dengan dunia seni sejak kecil.
“Saya dan Prapto tinggal di Kampung Kemlayan,” kenang salah satu seniman asal Solo, Sardono W Kusumo saat menuturkan kisah hidup Mbah Prapto prosesi umbul donga untuk jenazah Mbah Prapto di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).
Di Kemlayan, Mbah Prapto tinggal di lingkungan seniman Keraton Surakarta. Sardono menyebut sejumlah nama seniman klasik. Di antaranya Mloyo Widodo, Marto Pangrawit, dan seniman tari Ngaliman. Tempat tinggal Mbah Prapto kecil, tutur Sardono, tepat berada di tengah-tengah kediaman para seniman itu.
“Bayangkan, Prapto itu setiap hari berkumpul dengan seniman-seniman itu. Ikut lek-lekan (begadang), diskusi tentang kesenian,” kata dia.
Tak hanya tari, Mbah Prapto juga mempelajari karawitan, wayang, bahkan sastra. Menurut Sardono, Mbah Prapto berhasil menembus sekat-sekat yang memisahkan berbagai bidang seni. Ia lebih banyak bermain di ranah spiritualisme dibanding teknis kesenian.
“Bicara teknis kan kita bicara tentang bagaimana menggerakkan tubuh, kalau itu tari. Atau kalau karawitan ya bagaimana nabuh kendang. Prapto bermain di aras yang lebih dalam lagi. Dia bisa menjembatani antara spiritualitas dan teknis. Itulah kenapa Prapto mudah diterima semua kalangan,” kata dia.
Pun pula saat meninggal dunia, Mbah Prapto kembali dikelilingi puluhan seniman dari berbagai disiplin. Mereka memberi penghormatan terakhir untuk Mbah Prapto sebelum jenazahnya dikremasi di Delingan, Karanganyar. Kepergian Mbah Prapto dilepas dengan upacara umbul donga yang dipersembahkan seniman-seniman alumni TBJT.
Sepekan yang lalu, Mbah Prapto dirawat di rumah sakit karena serangan jantung. Setelah mendapat perawatan, kondisinya membaik hingga diperbolehkan pulang. Sabtu (28/12) tengah malam, ia kembali mendapat serangan jantung hingga menghembuskan nafas terakhir pada 01.30 WIB.
Mbah Prapto dikenal sebagai pelopor seni gerak bebas Amerta. Konsep Seni Gerak Amerta ini memanfaatkan gerak sebagai sarana menyatunya jiwa dengan lingkungan sekitar. Konsep gerak Amerta yang dikembangkan Mbah Prapto sekitar tahun 1970-an ini mendapat respon positif dari penari dari berbagai negara.
Pentasnya ke Jerman (bersama koreografer Sardono W Kusuma) dalam Festival Pantomim Internasional tahun 1982 mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki pendekatan gerak bebas, sama dengan dirinya. Setiap tahun sejak lawatannya yang pertama itu, Mbah Prapto terus-menerus diundang untuk memberikan workshop dan mementaskan jogetnya di Eropa, Australia, Filipina, Korea, Jepang dan Amerika Serikat.
Ketika jaringannya mulai tersebar di banyak negara, tahun 1986 ia mendirikan Padepokan Lemah Putih, sebuah wadah untuk menampung murid-muridnya. Di padepokan itulah kemudian lahir komunitas Sharing Movement. Istilah ini untuk menyebut teknik mengajar Mbah Prapto yang lebih banyak sharing.
Editor : Wahyu Wibowo