Solo — Dosen Ilmu Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Prabang Setyono mengubah limbah popok sekali pakai menjadi peredam suara dalam ruang.
Dr Prabang mengaku melakukan sebuah penelitian selama delapan bulan sejak 2018 untuk mengubah limbah Popok Sekali Pakai (Pospak) menjadi teknologi tepat guna dan bernilai ekonomi lebih tinggi.
“Hasilnya, sebuah prototipe panel akustik atau peredam suara dalam ruang berbahan utama Pospak diwujudkan,” ungkap Dr Prabang kepada wartawan, di Solo, Selasa (12/5).
Hal ini ia lakukan lantaran resah dengan keberadaan limbah Pospak yang sulit terurai dan dalam jumlah besar di Indonesia. Selain itu, ia pun menyoroti pola kebiasaan impor peredam suara atau panel akustik berbahan glasswool di Indonesia yang memiliki harga cukup mahal.
Padahal, kata Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Lingkungan UNS ini, bidang industri membutuhkan peredam suara dengan harga terjangkau, efektif, dan sebisa mungkin berbahan dasar lokal atau tidak perlu impor. Sebab, impor lambat laun akan menimbulkan ketergantungan.
“Kemudian saya berpikir ‘sumber daya’ apa yang melimpah di kita. namun belum dimanfaatkan dengan maksimal. Sebagai orang lingkungan, saya juga berpikir dari aspek lingkungan dan bagaimana mengurangi waste atau limbah. Ketemulah Pospak ini,” jelasnya.
Pospak memang mengandung senyawa kimia Super Absorbent Polymer (SAP) sebanyak 42% yang akan berubah bentuk menjadi gel saat terkena air. Apabila terurai dalam air, zat kimia ini dapat berbahaya bagi lingkungan. Bahkan, meskipun dihilangkan dengan cara dibakar, gel di dalam Pospak tidak dapat terbakar dengan baik.
Selain karena jumlah limbahnya yang besar, Pospak dipilih karena memenuhi kriteria bahan baku peredam suara atau panel akustik. Pertama, Pospak berbentuk serabut-serabut. Kemudian memiliki celah pada bubuk-bubuk di dalamnya yang bertumpuk-tumpuk.
“Gelombang suara akan lebih mudah diredam atau diresapkan apabila celahnya bertumpuk-tumpuk. Ini lebih efektif daripada yang datar (flat),” terangnya.
Sadar akan kebutuhan strategi industri untuk produk ini, Dr Prabang menggandeng Hary Setianto dari Teknik Industri untuk menyusun strategi pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan industri hingga sampai ke hilir atau masyarakat. Ia juga berencana melakukan penelitian payung bersama mahasiswa untuk terus mengembangkan produk ini.
Harapannya, produk ini dapat menggantikan peredam suara sintetis dari gipsum dan peredam suara (glasswool) yang selama ini beredar di pasaran dengan harga yang lebih terjangkau. Selain itu, pemulung yang juga berperan dalam pengumpulan bahan, dapat meningkat penghasilannya.
“Saat ini kami masih dalam tahap sosialisasi prototipe dan pengajuan proposal pendanaan penelitian lebih lanjut. Saya sangat berharap, segera difabrikasi dan dapat sampai ke hilir sehingga bermanfaat bagi masyarakat dalam skala besar. Setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dulu,” tutup Dr Prabang.
Editor : Marhaendra Wijanarko