SOLO – Kajian tarawih daring Universitas Sebelas Maret kembali digelar. Tema Keberagaman dalam Perspektif Islam dibawakan oleh Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si. Kajian daring dilakukan melalui aplikasi Zoom Meeting dan bisa diakses oleh masyarakat secara langsung dari akun Youtube milik UNS.
Sebelum kajian daring dimulai, mahasiswa Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian, Amar Ibnu Hasan membacakan lantunan ayat suci Alquran. Selain itu pada kesempatan ini diinformasikan pula terkait galang donasi untuk melawan Covid-19 yang dilakukan oleh UNS. “Dalam waktu dekat dana yang sudah terkumpul akan disalurkan kepada mereka yang membutuhkan,” ungkap Rektor UNS Prof Dr. Jamal Wiwoho melalui telepon seluler, di Solo, Selasa (19/5).
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Haedar menjelaskan, apa yang disampaikan, bukan saja tentang keberagaman tetapi juga mengenai keberagamaan (kehidupan beragama) dalam perspektif islam. Masalah yang kini dihadapi oleh Indonesia bukan saja keberagaman yang dimaknai sebagai beragamnya konteks agama, budaya, sosial dan ekonomi. “Tetapi ada dimensi keberagamaan yang melekat didalamnya. Hal ini tentu berpengaruh terhadap tatanan sosial masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Ketua Umum Muhammadiyah mengemukakan, terdapat dua kecenderungan sikap dan pandangan keberagamaan yang kini ada di masyarakat, khususnya umat islam. Pandangan pertama mencoba mengaktualisasikan agama di dalam konteks situasi yang saat ini sedang darurat kemudian melahirkan pandangan agama sebagai solusi dalam menangani kasus Covid-19. Seperti beberapa organisasi islam mencoba memberikan solusi dengan memperbolehkan untuk beribadah di rumah tetapi tetap memperhatikan rukunnya.
“Keberagamaan kita menjadi solusi bagi persoalan umat dan bangsa. Agama menjadi pemecah masalah, menjadi problem solver dalam konteks pelaku agama itu sendiri,” tutur Haedar.
Tetapi di waktu yang sama masih berkembang pandangan bahwa dengan kondisi saat ini aktivitas beribadah bisa dilaksanakan seperti biasa. Sebagian masyarkat tersebut belum adaptif dan bisa menerima cara keberagamaan yang lain. Padahal kondisinya jelas bahwa masyarakat tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berkerumun. Hal tersebut tentu memicu pro dan kontra di masyarakat.
Selanjutnya pemahaman keagaamaan yang bersifat moderat penting untuk mulai dikonstruksikan. Dimana ketika terjadi situasi perbedaan pandangan yang cukup ekstrim masyarakat bisa mengatasinya. Seperti saat satu pandangan menilai syariat harus dijalankan sedangkan satunya menilai tidak perlu melakukan apapun dalam situasi yang sama-sama darurat. Maka perlu mencari titik tengah yang sesuai dengan syariat dan bisa dijalankan umat beragama.
“Dalam kondisi tersebut yang terpenting untuk dimiliki adalah kematangan kita beragama dan kedewasaan kita dalam keberagaman,” pesan Haedar.
Saat proses diskusi dengan audiens dibuka, Prof. Haedar menambahkan bahwa saat ini nilai gotong royong telah luntur. Secara praktis gotong royong kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat terbuai dengan julukan tersebut. Nilai gotong royong lebih sering dilihat sebagai sebuah teori tanpa adanya bukti. Keberagaman latar belakang tentu membutuhkan satu perekat yang bisa menjaga persatuan. Salah satunya nilai gotong royong ini bisa merekatkan hubungan sesama warga Indonesia. Maka secara praktik gotong royong harus kembali digencarkan, terutama dimasa sekarang saat Indonesia sedang menghadapi masalah. Tokoh masyarakat, artis, dan influencer bisa menjadi contoh untuk membangkitkan kembali nilai gotong royong.