Timlo.net – Pada penyelenggaraan haji tahun 2020 ini, jemaah haji Indonesia berisiko tinggi terhadap penularan Covid-19. Karena berbagai ritual haji selalu melibatkan berkumpulnya massa seperti saat tawaf, sa’i, jumrah dan shalat berjamaah. Itu belum termasuk kegiatan sehari-hari yang membuat mereka harus berkerumun.
“Karena negara yang lebih awal terkena, kembali terkena kasus seperti di China. Virus ini mudah menular, belum ada pengobatan definitif, vaksin dan ketika seseorang menderita Covid-19 dapat memperburuk penyakit kronis yang ada,” kata Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Kedokteran Haji Indonesia, Muhammad Ilyas dalam diskusi daring, Senin, (1/5)
Ilyas memperkirakan akan ada banyak penyaringan oleh petugas kesehatan dalam proses berhaji. Seperti dilakukannya karantina di Indonesia dan di Arab Saudi, guna menekan penularan virus corona jenis baru SARS-CoV-2 ini.
Ilyas mengatakan, otoritas kesehatan Saudi juga akan lebih selektif saat menangani pasien rujukan di tengah ancaman Covid-19. Bahkan beberapa pasien dapat mengalami penolakan RS Saudi.
Dia mengatakan saat jamaah kembali ke Tanah Air, mereka dapat menjadi pembawa virus meski sehat atau menjadi orang tanpa gejala (OTG) setelah kurang dari 40 hari beraktivitas di Tanah Suci, baik beribadah, berwisata, berbelanja dan lainnya.
Menurut dia, pelaksanaan ibadah haji tidak dapat dipisahkan dari unsur kesehatan jamaah. Maka dari itu, mereka agar mengenal kesehatan pribadinya dan faktor penyakit yang berpotensi dirasakan.
Dengan begitu, lanjut dia, mereka dapat beribadah secara optimal dan aman. Tidak ketinggalan, jika jamaah haji berangkat ke Tanah Suci maka harus terus menerapkan protokol kesehatan Covid-19 secara ketat.
Sumber: infopublik
Editor : Wahyu Wibowo